Selasa, 08 Desember 2009

Sejarah Papua Dalam NKRI Sudah Benar

Jumat, 21 Agustus 2009 | 06:20 WIB

JAYAPURA, KOMPAS.com--Sejarah masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah benar sehingga tidak perlu dipertanyakan dan diutak-atik lagi.

Hal tersebut diungkapkan Tokoh Pejuang Papua, Ramses Ohee di Jayapura, Kamis menanggapi sejumlah kalangan yang masih mempersoalkan sejarah masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang telah ditetapkan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 silam.

Ramses menegaskan, ada pihak-pihak yang sengaja membelokkan sejarah Papua untuk memelihara konflik di Tanah Papua.

"Sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI sudah benar, hanya saja dibelokkan sejumlah warga tertentu yang kebanyakan generasi muda," ujarnya.

Lebih lanjut dijelaskannya, fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

"Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda tidak dihadiri pemuda Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah saya, Poreu Ohee adalah salah satu pemuda Papua yang hadir pada saat itu," ujar Ramses.

Adapun mengenai pihak-pihak yang memutarbalikkan sejarah dan masih menyangkal kenyataan integrasi Papua ke dalam NKRI, Ramses tidak menyalahkan mereka karena minimnya pemahaman atas hal tersebut.

Menurutnya, hal yang perlu disadari adalah bahwa keberadaan negara merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga seharusnya disyukuri dengan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di Papua.

Berdasarkan catatan sejarah, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah tanggal tersebut, bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB.

Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan "New York Agreement" untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan kabupaten pada masa itu.

Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia.

sumber :
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/08/21/06205938/sejarah.papua.dalam.nkri.sudah.benar



Minggu, 06 Desember 2009

Kembali ke RI, Sesepuh Papua Raja Nicolaas Jouwe Tinggalkan Belanda

Eddi Santosa - detikNews

Wassenaar - Sesepuh Papua Nicolas Jouwe yang sudah hampir 50 tahun bermukim di Negeri Belanda akan segera kembali ke tanah air.

Keputusan untuk pulang itu dikemukakan Nicolas pada saat acara perpisahan yang diselenggarakan Dubes RI Den Haag J.E Habibie di Wisma Duta, Wassenaar, Sabtu (28/11/2009) malam atau Minggu pagi WIB.

Acara perpisahan tersebut bertepatan dengan hari ulang tahun Nicolas yang ke-86, dihadiri sekurangnya 100 tamu undangan termasuk pejabat Kementerian Luarnegeri Belanda.

Dalam sambutan singkatnya, Dubes Habibie menyampaikan penghargaan kepada Nicolas Jouwe yang memilih pulang ke tanah air mewujudkan impiannya membangun negeri tercinta Indonesia.

"Pemerintah RI dalam hal ini sepenuhnya membantu kelancaran kepulangan Bapak Nicolas Jouwe termasuk para keluarganya," papar Habibie.

Menurut Habibie, pihaknya sengaja menggelar acara perpisahan ini untuk menghormati sosok Nicolas Jouwe yang dia pandang teguh pendirian dan sejatinya mencintai Indonesia.

Tidak hanya itu, Nicolas Jouwe secara diam-diam ternyata juga pengagum berat Presiden SBY. "Bahkan dia juga hadir dalam momen penting pelantikan SBY sebagai Presiden RI di Gedung MPR/DPR pada Oktober 2009 lalu di Jakarta," ujar Minister Counsellor Pensosbud Firdaus Dahlan kepada detikcom.

Dilihat dari tutur bahasanya, meskipun sudah berusia senja Nicolas Jouwe masih sangat runtut dalam berkata, pikirannya masih jernih, tegas dan bahkan juga piawai melantunkan pantun-pantun menarik untuk menyatakan kehendak hati.

"Sosok Nikolas sepertinya juga sangat pas dengan Dubes Habibie yang senang berpantun dalam berdiplomasi," imbuh Firdaus.

Sementara itu, Nicolas Jouwe yang merasa sangat terharu menyampaikan terimakasih dan penghargaan tinggi kepada Pemerintah RI.

"Terutama kepada Dubes Habibie yang semenjak dari awal dengan gigih membantu proses kepulangan dan melakukan koordinasi dengan berbagai pihak terkait di tanah air," demikian Nicolas.

Direncanakan Nicolas Jouwe akan meninggalkan Negeri Belanda pada pekan pertama Desember 2009 ini.


Sumber : http://www.detiknews.com/read/2009/12/01/101801/1251658/10/kembali-ke-ri-sesepuh-papua-raja-nicolaas-jouwe-tinggalkan-belanda

Minggu, 29 November 2009

Ribuan WNI di Papua Nugini Minta Pulang

Jumat, 27 November 2009 20:56 WIB

Penulis : Cornelius Eko Susanto

JAKARTA-MI: Sekitar 708 orang warga negara Indonesia (WNI) yang telah lama bermumkim di Papua Nugini diproses repatriasi (kembali ke tanah asal kewarganegaraannya) oleh pemerintah Indonesia. Mereka adalah sebagian dari ribuan orang asal Papua yang tinggal di Papua Nugini dan menuntut bantuan tindakan repatriasi.

"Menurut KBRI Papua Nugini, yang meminta repatriasi ada ribuan. Namun untuk sementara, kita putuskan 708 orang dulu yang kita bantu," ungkap staf ahli menteri bidang politik dan keamanan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Dody Budiatman, di Jakarta, Kamis (26/11).

Dari 708 orang yang meminta repatriasi tersebut, hanya 311 orang yang bisa dibantu kepulangannya pada tahun ini. Sisanya kata Dody, bakal dipulangkan tahun depan. Pemerintah telah menganggarkan dana sebesar Rp25 miliar dari APBN untuk proses pemulangan mereka.

Lebih jauh dijelaskan, untuk proses repatriasi 311 orang Papua itu, pemberangkatan dipusatkan di dua tempat di wilayah Papua Nugini, yaitu di Wewak dan Port Moresby. Mereka yang berkumpul di Mewak telah diangkut ke Jayapura pada 19 November 2009 lalu. Sedangkan dari Port Moresby diterbangkan ke Jayapura pada 22 November 2009. Mulai dari proses pendataan sampai pemulangan ke Jayapura menjadi tanggungjawab Deplu RI dibantu oleh pemerintah Papua Nugini.

Di Jayapura, para pengunsi itu bakal ditempatkan di sebuah Balai Latihan Kerja (BLK). Di samping dibekali dengan sejumlah ketrampilan, mereka juga kembali akan didoktrinasi tentang wawasan kebangsaan Indonesia. Setelah proses tersebut rampung, mereka akan dikembalikan ke daerah asal mereka masing-masing. Daerah-daerah tujuan itu adalah, Merauke, Keerom, Bouvendigul, Jayapura, Biak, Pegunungan Bintan, Puncak Jaya, Serui, Timika, dan Sorong.

Sebagai bekal hidup, pemerintah pusat memberi jatah Rp17 juta untuk setiap Kepala Keluarga (KK). Masalah penempatan ke daerah asal dari Jayapura akan menjadi urusan Departemen Dalam Negeri dan Pemkab/Pemkot.

Disinggung soal pemberian rumah, Dody menolak menjelaskan. Pasalnya, di Papua masalah ini sensitive lantaran dapat menimbulkan kecemburuan dengan warga setempat.

"Soal rumah, pemeritah pusat tidak menanggung. Kalau ada pemkab/pemkota yang bersedia memberikan, kita persilahkan. Namun, dihimbau, sebaiknya hal itu tidak perlu dipublikasikan," imbuhnya.

Kronologis terjadinya permintaan repatriasi itu berawal dari kebijakan penggusuran tanah di kantong-kantong warga Papua yang tinggal di Port Moresby. Pasalnya, sebagian besar dari mereka tinggal di daerah kumuh dan sejatinya terlarang sebagai pemumkiman. Lantaran tidak lagi punya tempat tinggal dan uang, mereka memohon pada KBRI Papua Nugini untuk membantu mereka kembali pulang ke Indonesia.

"Jumlahnya menurut Deplu bisa mencapai 25 ribu orang," terang Dody.

Mereka yang ingin kembali tidak hanya berasal dari Port Moresby, tetapi juga warga Papua yang tinggal di kota lain seperti, Lihir, Manus, lae, Bulolo, Madang, Daru, Goroka, Kiunga, Wewak dan Vanimo.

Mereka berasal dari beragam latar belakang. Sebagian adalah orang yang tidak setuju masuknya Papua ke Indonesia dan sebagian lainnya anggota OPM. Namun beberapa dari mereka adalah keturunan ke dua. (Tlc/OL-7)

Selasa, 24 November 2009

193 WNI Kembali Datang dari PNG

Senin, 23 November 2009 | 03:31 WIB
Jayapura, Kompas - Rombongan kedua repatriasi warga negara Indonesia asal Papua dan Papua Barat dari Papua Niugini tiba di Jayapura, Minggu (22/11). Sebanyak 193 orang diberangkatkan dari Port Moresby dalam dua kelompok dengan pesawat Hercules C-130.
Rombongan pertama terdiri atas 105 orang dan tiba di Jayapura sekitar pukul 10.45 WIT, sementara rombongan kedua sebanyak 88 orang tiba di Jayapura pukul 17.00 WIT.
Turun dari pesawat, mereka disambut tokoh dan pejabat Papua dengan jabatan tangan. Sambil menggendong anak-anak yang masih kecil atau menggandeng orang-orang tua, mereka berjalan sembari tersenyum menuju tempat pemeriksaan kesehatan dan dokumen keimigrasian.
Setelah diperiksa kesehatan dan kelengkapan dokumen keimigrasian, mereka dibawa ke Balai Latihan Tenaga Kerja Industri Provinsi Papua yang menjadi tempat penampungan sementara.
Sebelumnya, 143 orang telah direpatriasi dari Papua Niugini melalui Wewak dan sampai ke Jayapura pada 19 November. Sekitar 60 orang telah kembali ke kampung halaman mereka di Jayapura, Keerom, dan Merauke.
Dubes RI untuk Papua Niugini Bom Soerjanto, yang menyertai rombongan pertama, mengatakan, tahap pertama repatriasi dengan kepulangan 336 WNI asal Papua ini menjadi titik penting bagi tahap-tahap selanjutnya. ”Ini seperti merebut hati warga Papua di luar negeri. Kalau berhasil, repatriasi semacam ini tidak perlu diprogramkan. Mereka akan datang sendiri,” katanya.
Rombongan kedua ini terdiri atas WNI yang sebelumnya tinggal di daerah Buka, Daru, Rabaul, Kiunga, dan Port Moresby di Papua Niugini. Masih ada satu keluarga beranggotakan tiga orang yang akan datang dari Vanimo, mereka masuk ke Jayapura melalui jalur darat lewat perbatasan Skouw-Wutung pekan ini.

Kemanusiaan
Salah satu penggagas repatriasi WNI asal Papua, Frans Albert Yoku (57), kemarin mengatakan, repatriasi ini merupakan upaya kemanusiaan. ”Ini bukan seperti mengantar sekawanan sapi dari lokasi A ke lokasi B. Mereka pernah memiliki tempat ini, keluarga mereka juga di sini. Jangan sampai repatriasi ini menjadi proyek,” katanya.
Upaya repatriasi telah dimulai sekitar tahun 2006 dan bergulir hingga repatriasi massal tahun 2009 ini. Frans menuturkan, repatriasi itu dimulai dari proses konsultasi dan pendekatan kepada pihak-pihak pemangku kepentingan di Indonesia untuk menjajaki kemungkinan respons dari Pemerintah Indonesia.
Direncanakan, pada awal tahun depan, repatriasi akan kembali dilaksanakan mengingat anggaran pemerintah masih tersedia untuk itu. Berdasarkan data dari Direktorat Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri, saat ini jumlah WNI asal Papua yang berada di PNG tercatat sekitar 25.000 orang dan yang tidak tercatat sebanyak 19.610 orang.
”Ke depan, kami akan memimpin gerakan ini dan, melalui suatu proses dan waktu, mereka semua akan kembali ke Papua,” kata Frans. (FRO)

Minggu, 22 November 2009

Ke Papua Mereka Kembali

Fri 20 Nov 2009
by : Budi Winarno

JIKA selama ini kita lebih banyak diberi informasi tentang warga Papua yang meminta suaka ke luar negeri, kini ada berita sebaliknya yang tersiar dari Tanah Papua. Ratusan orang warga Papua yang selama berpuluh-puluh tahun tinggal di Papua Nugini, akan kembali ke Tanah Air di Papua dan Papua Barat. Mereka kembali ke Tanah Air melalui proses repatriasi.

Mereka akan disinggahkan di Jayapura, kemudian dikembalikan ke kampung leluhur mereka di Kabupaten Jayapura, Biak, Sorong, Jayawijaya, Puncak Jaya, Merauke, Tolikara, Keerom, Boven Digoel dan Kabupaten Mimika. Pemulangan ke daerah-daerah, disesusaikan dengan anggaran masing-masing kabupaten.

Kepulangan mereka kembali ke tanah leluhur, berlangsung mengharukan. Ada sejumlah latar belakang mengapa mereka pulang. Pertama, karena telah gagal secara ekonomi dan sosial hidup di Papua Nugini. Di Papua Nugini, mereka ternyata hidup miskin dan tercerai berai, terpisah oleh jarak yang jauh dan sulit diakses.

Di Papua Nugini, mereka kebanyakan hidup menjadi petani. Tentu saja dengan keahlian bertani seadanya. Dengan gambaran seperti itu, maka sudah dapat dipastikan bahwa mereka tidak menjadi lebih baik ketika "menyeberang " ke negeri tetangga. Sudahlah merugi secara ekonomi, hilang pula kekerabatan sosial yang selama ini mereka bina di Papua (dulu Irian Jaya).

Gambaran kegagalan mereka hidup di Papua Nugini terlihat dari apa yang mereka bawa ketika pulang atau direpatriasi. Selain membawa tas dan koper, banyak juga warga repatrian yang menenteng ember plastik, kompor minyak tanah, dan teko air. Tentu saja barang itu bukanlah "oleh-oleh" yang bagus untuk dibawa ke kampung halaman.

Alasan ekonomi dan sosial bisa kita terima karena Papua Nugini bukanlah negara kaya. Pendapatan perkapita pada tahun 2008, misalnya, hanya 2.300 US dolar sementara Indonesia 3.900 US dolar. Lebih dari itu, alam Papua Nugini juga sama saja "kerasnya" dengan Papua dalam arti sarana transportasi juga belum memadai. Maka menjadi mudah kita terima jika pada akhirnya mereka ingin kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Alasan kedua mereka pulang adalah karena suasana di Papua kini relatif aman. Mereka menyeberang ke Papua Nugini waktu itu memang berasalan utama karena di tanah leluhurnya mereka merasa tidak aman secara politik. Mereka (saat itu) mengaku memiliki ketidaksepahaman dengan pemerintah Indonesia sehingga mereka memilih bermukim di Papua Nugini.

Bisa jadi, "aman" bagi para repatrian adalah karena di Indonesia kini telah berkembang suasana demokrasi yang hebat sehingga perbedaan yang selama ini "diharamkan" kini dianggap biasa. Waktu mereka lari ke Papua Nugini tahun 1970-an, misalnya, Papua (waktu itu Irian Barat) adalah provinsi yang belum lama bergabung ke Indonesia sehingga wajar saja bila banyak warga merasa tidak aman. Waktu itu, di Irian Barat masih sangat banyak tentara yang diterjunkan. Waktu itu juga masih banyak tokoh yang tidak mau bergabung ke Indonesia.

Kita melihat proses repatriasi lebih sebagai kegiatan sosial, bukan politik. Cara melihat seperti itu diperlukan agar Indonesia sebagai tuan rumah yang menerima kembali anaknya yang hilang, tidak memperlakukan mereka sebagai pelarian politik lagi. Mereka adalah anak kandung yang telah gagal dalam pelariannya ke negara lain. Dan ketika mereka pulang karena merasa gagal hidup di negeri orang, maka menjadi wajib secara sosial untuk menerima mereka kembali.

Bahwa di Papua sendiri masalah keamanan belumlah tuntas benar, itu adalah persoalan politik dan kemanan yang memang menjadi pekerjaan rumah kita. Kedatangan anak-anak negeri itu, cukuplah didata dengan baik dan "di-Indonesiakan" lagi terutama melalui sekolah-sekolah.

Menurut catatan Kedutaan Besar RI di Port Moresby, masih banyak warga Indonesia yang akan pulang kembali ke Papua. Jumlah pasti memang belum terdata karena mereka tersebar di Papua Nugini. Namun, dari mereka yang menyatakan ingin kembali ke Papua, jumlahnya mencapai ribuan.

Karena jumlahnya banyak, maka dipastikan proses repatriasi akan melalui waktu yang lama. Jika langkah awal penanganan repatriasi ini tepat, maka langkah berikutnya menjadi lebih mudah. Kepada Saudara-Saudara kita warga Papua yang baru datang dari Papua Nugini, kita hanya bisa mengucapkan selamat datang ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Jumat, 20 November 2009

65 Warga Repatriasi PNG Tiba di Jayapura

Laporan wartawan KOMPAS Ichwan Susanto
Kamis, 19 November 2009 | 11:06 WIB
JAYAPURA, KOMPAS.com — Sebanyak 65 orang yang direpatriasi dari Papua Niugini, Kamis (18/11) pukul 10.40 ini, tiba di Hangar TNI Angkatan Udara  Sentani, Jayapura.

Mereka diberangkatkan dari Kota Wiwek, Papua Niugini, dengan menggunakan pesawat Hercules TNI AU. Sutrisno, Pj Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri, menuturkan, 65 orang ini bagian dari 140 orang yang direpatriasi hari ini. Mereka akan ditempatkan di Asrama Balai Latihan Kerja Provinsi Papua. Mereka tinggal 3-5 hari untuk mengurus dokumen dan pendataan identitas.

Ia memastikan, setiap kabupaten telah mempersiapkan lokasi tempat tinggal dan pekerjaan. "Mereka adalah saudara-saudara kita, jadi kami harap pemerintah kabupaten dapat mempersiapkan dan melayani dengan baik. Soal perlakuan khusus tidak ada," ujarnya di Jayapura.

Ia menjelaskan, pada 22 November dilakukan repatriasi tahap kedua. Akan diberangkatkan kembali seratusan orang dari Papua Niugini untuk direpatriasi. Menurut Badan Perbatasan dan Kerja Sama Luar Negeri Provinsi Papua, jumlah sementara warga Indonesia di Papua Niugini yang akan direpatriasi berjumlah 708 jiwa.

Rinciannya, 9 warga akan dikembalikan ke Sorong di Papua Barat, 451 orang ke Jayapura, 8 orang ke Biak, 13 orang ke Jayawijaya, 9 orang ke Puncak Jaya, 5 orang ke Merauke, 4 orang ke Tolikara, 83 orang ke Keerom, 108 orang ke Boven Digul, dan 49 orang ke Timika.

"Kami senang bisa kembali ke Papua. Lega rasanya," ujar seorang repatrian, Yohana Hamadi Fere, sesaat setelah turun dari pesawat Hercules.

Rabu, 18 November 2009

320 WNI Mulai Direpatriasi

Rabu, 18 November 2009 | 05:02 WIB

PORT MORESBY, KOMPAS.com - Sebanyak 320 warga negara Indonesia yang tinggal di Papua Niugini akan direpatriasi secara sukarela. Mereka akan dipulangkan ke daerah asal mereka di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat.

Para repatrian akan dipulangkan dalam dua tahap, yaitu pada 19 November melalui Wewak ke Jayapura sebanyak 125 orang dan pada 22 November melalui Port Moresby ke Jayapura sebanyak 192 orang. Sebanyak tiga orang akan diberangkatkan dari Vanimo, tetapi belum ada kepastian waktunya. Ke-320 orang itu merupakan kelompok pertama yang direpatriasi tahun ini dari total 644 orang yang telah mengajukan untuk repatriasi sukarela. Sisanya kemungkinan akan direpatriasi awal tahun depan.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri Teguh Wardoyo, Selasa (17/11) di Port Moresby, mengatakan, repatriasi telah dimulai tahun 2007 melalui tiga tahap, yaitu identifikasi, pemindahan, dan pemulangan.

”Identifikasi telah dimulai tahun 2007 untuk menentukan kebenaran identitas status kewarganegaraan, status keimigrasian, dan kepastian status hukum saat kembali ke Indonesia,” katanya.

Mereka, lanjut Teguh, datang secara sukarela ke Kedutaan Besar RI di Port Moresby dan meminta pulang. ”Hal itu membuktikan bahwa iklim kondusif telah tercipta di Indonesia dalam hal demokrasi dan ekonomi,” ujar Teguh.

Rencana repatriasi warga Papua dan Papua Barat telah dibahas bersama dan rencananya dilaksanakan pada pertengahan tahun 2007. Rencana itu tertunda beberapa kali karena berbagai hal, antara lain kurang siapnya semua unsur yang terlibat dalam pelaksanaannya. Tahun 2008, sebanyak 701 orang mengajukan repatriasi sukarela. Sebagian sudah diproses, tetapi sebagian lagi membatalkan karena merasa terlalu lama menunggu pelaksanaannya. Mereka juga masih memiliki beban untuk menjual rumah, tanah, atau ternak mereka sehingga membatalkan pengajuan repatriasi.

WNI di Papua Niugini itu berasal dari sejumlah daerah, yaitu Lihir (1 orang), Buka (8), Rabaul (4), Daru (15), Kiunga (48), Vanimo (3), Manus (62), Bulolo (14), Goroka (6), Lae (8), Madang (6), Wewak (29), dan Port Moresby (116). Daerah asal mereka di Indonesia adalah kota Jayapura (24), Denta (24), Depapre (11), Sentani (5), Keerom (21), Merauke (15), dan Timika (16).

Dari sejumlah kota itu, mereka dikumpulkan di dua wilayah, yaitu Wewak dan Port Moresby, melalui jalur darat, laut, dan udara (lihat grafis). Sebanyak 14 orang tiba di Kedubes RI dan 6 orang di tempat penampungan di Xavier Institut di Port Moresby, Selasa. Sehari sebelumnya, satu keluarga terdiri atas 10 orang telah tiba di Port Moresby dan ditampung di Xavier Institute.

Peter Parera (76), salah satu repatrian, menuturkan, dia telah tinggal di Papua Niugini selama 34 tahun dan menikah dengan warga setempat. Bersama istri, sembilan anak, dan satu cucu, Peter akan kembali ke Jayapura.

”Saya dulu pergi karena orang-orang memaksa saya untuk ikut pergi ke Papua Niugini. Sekarang saya ingin pulang, ingin menggarap tanah di Jayapura,” kata Peter, yang bekerja di kantor pemerintah Papua Niugini.

Teguh mengatakan, banyak WNI di Papua Niugini yang ingin kembali karena mereka tidak lagi memiliki tanah garapan sewaan di Papua Niugini. Tanah mereka dibeli para pengusaha dan mereka kehilangan tanah yang menghidupi mereka. Banyak pula di antara mereka yang merupakan pelarian politik, yaitu tokoh atau anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau orang-orang yang dikejar-kejar oleh anggota OPM karena tidak mau setuju dengan mereka.

”Pemerintah Papua Niugini beritikad baik membantu repatriasi WNI asal Papua dan Papua Barat. Repatriasi ini juga mengurangi beban pemerintah PNG,” ujar Teguh.

Saat ini, jumlah WNI asal Papua yang berada di Papua Niugini tercatat sebanyak 25.000 orang dan tidak tercatat sebanyak 19.610 orang.

Sumber : http://regional.kompas.com/read/2009/11/18/05020516/.320.WNI.Mulai.Direpatriasi.

Minggu, 18 Oktober 2009

Dua Lagi Warga Asal Papua Di Australia Ingin Pulang

oleh Ant/Papos
Jumat, 28 November 2008 10:16
BRISBANE (PAPOS) -Gembong Papua Merdeka, Herman Wainggai, kembali kebakaran jenggot karena setelah kepulangan Hana Gobay dan Yubel Surei ke Indonesia 23 September lalu, kini ada lagi dua orang warga Indonesia asal Papua penerima visa proteksi pemerintah Australia yang ingin pulang ke kampung halamannya. Informasi yang dihimpun Koran ini dari ANTARA, tadi malam (Kamis 27/11) menyebutkan, keduanya disebut-sebut bernama Anike dan Yunus, nakhoda perahu yang membawa 43 orang Papua dan kemudian terdampar di Cape York, Australia, Januari 2006.

Keduanya dalam keadaan sehat wa'alfiat dan masih di bawah proteksi pemerintah Australia. Sesuai dengan prinsip hukum internasional, tidak ada seorang pun bisa menghalangi warga negara yang atas keinginannya sendiri mau kembali ke negaranya, termasuk kedua orang ini.

Disebutkan, selama di Australia, keselamatan keduanya merupakan tanggung jawab pemerintah setempat. Pemerintah Australia juga bertanggung jawab untuk mengungkapkan kebenaran jika ada tuduhan bahwa keduanya seolah-olah hilang atau diculik karena mereka masih di Australia dan berada di bawah proteksi pemerintah Australia.

Dalam kasus kembalinya Hana Gobay dan Yubel Surei ke kampung halamannya di Provinsi Papua 23 September lalu, gembong Papua Merdeka, Herman Wainggai, sempat kebakaran jenggot dan mengancam keselamatan keduanya.

Ancaman Herman Wainggai kepada kedua Hana Gobay dan Yubel Surei itu terungkap dalam surat elektronisnya kepada "SIMPA@yahoogroups. com" dengan tembusan "westpa_authority@ yahoo.com.au".

Dalam surat bertajuk "SIMPA" 2 WNI kembali ke Indonesia!" tertanggal 23 Sep 2008 20:02:10 -0700" itu, Herman Wainggai mengatakan, keduanya adalah musuh bersama para pendukung Papua Merdeka.

"Ade Hana Gobay dan Jubel Kareni, kaka Herman cuma ucapkan selamat atas pengkhianatanmu."

Pada proses pemulangan Hana Gobay dan Yubel Surei 23 September lalu dengan difasilitasi KJRI Melbourne dan KBRI Canberra, rute yang ditempuh adalah Melbourne-Denpasar untuk kemudian ke Papua.

Menanggapi kepulangan Hana Gobay dan Yubel Surei, Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb, pernah mengatakan kepada ANTARA, kepulangan mereka itu mematahkan argumentasi kelompok anti-Indonesia bahwa kondisi di provinsi paling timur NKRI tersebut tidak aman.

Dalam konteks hubungan Indonesia-Australia, Dubes Thayeb mengatakan, unsur pemerintah kedua negara sudah semakin mampu menangani isu-isu sensitif dan membicarakannya secara baik dan transparan.

"Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith pun pernah mengatakan bahwa adanya keinginan WNI asal Papua untuk pulang itu adalah masalah Indonesia dengan warga negaranya," kata Dubes Thayeb.(ant/nas)

Jumat, 16 Oktober 2009

Kecewa di Australia, 2 Warga Papua Pulang

24/09/2008 - 21:12



INILAH.COM, Jakarta - Dua Warga Negara Indonesia (WNI) yang termasuk dalam kelompok 43 WNI asal Papua yang meminta suaka politik ke Australia pada akhir tahun 2005, yaitu Hana Gobay asal Merauke dan Yubel Kareni asal Serui, telah kembali ke Indonesia.

Menurut keterangan resmi dari Departemen Luar Negeri di Jakarta, Rabu (24/9), kepulangan mereka dilakukan secara sukarela dan didorong oleh rasa kecewa mereka atas janji-janji dan keterangan palsu Herman Wainggai dan kelompoknya kepada mereka.

Didasari oleh rasa kecewa itu, yang bersangkutan menghubungi perwakilan RI di Australia pada pertengahan Juli 2008 dan meminta agar mereka dapat dibantu untuk kembali ke Papua.

Pemerintah Indonesia melalui KJRI Melbourne dan KBRI Canberra telah memfasilitasi kepulangan keduanya kembali ke kampung halaman di Papua.

Selama proses pemulangan mereka mendapat intimidasi dari pencari suaka lainnya, tetapi mereka justru semakin mantap untuk kembali.

Keputusan tersebut diambil karena pemerintah memang berkewajiban memberikan perlindungan dan bantuan, mengingat mereka masih menjadi WNI.

Dengan demikian, pemerintah tidak hanya menyetujui kepulangan tersebut akan tetapi juga memfasilitasi sepenuhnya hingga mereka kembali ke tengah keluarga dan masyarakat dengan jaminan pemenuhan hak-haknya sebagai WNI.

Keseluruhan proses sejak pertengahan Juli 2008, hingga kepulangan mereka, berlangsung secara obyektif, dialogis dan terbuka.

Kepulangan kedua WNI tersebut didampingi oleh staf KJRI Melbourne dan Deplu. Mereka dijadwalkan tiba di Papua Rabu (24/9).

Pemerintah berharap, kepulangan mereka dapat membuka hati dan mata mereka yang masih terus berusaha memojokkan Indonesia melalui berbagai cara untuk melihat secara objektif kondisi di tanah air pada umumnya dan Papua pada khususnya.

Kedua WNI tersebut telah menunjukkan keberanian untuk mengambil sikap di tengah-tengah disinformasi dan tekanan, karena mereka yakin akan hidup dan kondisi yang baik di Papua.

Kepulangan mereka juga membuktikan bahwa adanya persekusi sebagai alasan permintaan suaka sama sekali tidak terbukti akan tetapi lebih sebagai korban dari konspirasi politik dan tipu daya Herman Wainggai beserta pendukungnya.[*/L3]


sumber : http://www.inilah.com/berita/politik/2008/09/24/51592/kecewa-di-australia-2-warga-papua-pulang/

Kamis, 17 September 2009

West Papua : Intervensi Pihak Asing

Repost dari http://westpapuainfo.wordpress.com/2009/07/01/west-papua-intervensi-pihak-asing/

Masih hangat dalam ingatan berita di The Jakarta Post yang saya baca membuat ‘panas’ Pemerintah Indonesia khususnya Deplu RI mengenai adanya rencana Kongres Amerika Serikat (AS) yang memasukkan masalah Papua dalam RUU Foreign Relations Autorization Act Fiscal Year 2010 and 2011 (H.R. 2410). Namun demikian, upaya diplomasi yang dilakukan pihak Deplu Indonesia dapat dikatakan berhasil dengan tidak dimasukkannya masalah Papua tersebut dalam Foreign Relations Autorization Act Fiscal Year 2010 and 2011 (H.R. 2410) yang telah disahkan pada 10 Juni 2009 oleh Kongres AS.

Foreign Relations Autorization Act Fiscal Year 2010 and 2011 (H.R. 2410) yaitu undang-undang/legislasi yang dikeluarkan komite-komite selain Komite Appropriasi Senat dan House, yang mengatur berlakunya suatu program federal atau institusi. Authorization Act merupakan payung bagi pendanaan berbagai program tahunan yang diatur dalam Appropriation Act.

Pada awalnya, dalam rancangan H.R.2410 sebelum disahkan memuat referensi khusus mengenai West Papua berupa status poltik dan kondisi HAM di Papua. Referensi tersebut digagas Ketua Komite Luar Negeri House, Howard Berman Ketika disahkan, HR. 2410 tidak lagi memuat referensi mengenai masalah Papua dikarenakan di-pending dengan pertimbangan tidak ingin mengganggu pelaksanaan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2009 di Indonesia.

Kemungkinan yang terjadi apabila masalah Papua tersebut masuk dalam H.R.2410, maka akan menjadi agenda pembahasan Kongres AS dan berlanjut pada permintaan kepada Menlu AS untuk menyerahkan suatu laporan kepada komite-komite Kongres terkait mengenai Act of Free Choice 1969, status politik West Papua dan sejauh mana Pemerintah Indonesia telah menerapkan Otsus dengan mengikutsertakan para pemimpin dan orang-orang Papua dalam pembangunan. Lebih lanjut, meminta Presiden AS menyampaikan laporan kepada komite-komite terkait di Kongres yang memuat gambaran sejauh mana Pemerintah Indonesia telah menghentikan pelanggaran HAM di West Papua.

Menarik menapak tilas ‘sepak terjang’ Kongres AS yang tidak kenal lelah berusaha meng-intervensi urusan dalam negeri Indonesia, khususnya masalah Papua. Setidaknya 3 kali Kongres AS mengajukan usulan masalah Papua untuk dibahas dalam Kongres AS yang akhirnya tidak berhasil yakni pada 2004, 2006 dan 2009.

Kongres AS sejak 1999 rupanya telah concern terhadap masalah Papua dimana 5 Anggota DPR AS (anggota Republik Christopher Smith dari New Jersey, anggota Republik John Porter dari Illinois, anggota Demokrat Howard Berman dari California, anggota Demokrat Cynthia McKinney dari Georgia, dan anggota Demokrat Eni Faleomavaega dari Samoa Amerika) menandatangani surat ditujukan kepada Presiden BJ. Habibie untuk mendesak pemerintah Indonesia mengadakan proses dialog yang sungguh-sungguh sebagai sarana pemecahan yang paling konstruktif terhadap berbagai masalah HAM di Papua.

Sementara, menurut kabar teman di Washington bahwa anggota Kongres AS Eni Faleomavaega asal Samoa Amerika yang juga concern terhadap masalah Papua dan beberapa kali berupaya mengangkatnya dalam Kongres namun pada akhirnya gagal, tidak mendapat simpati di kalangan Kongres karena dinilai tidak konsisten terhadap suatu permasalahan di kawasan Asia Pasifik. Hal ini bahkan mendapat reaksi negatif dari warga Samoa Amerika yang menilainya tidak banyak membawa perubahan di wilayah asalnya Samoa karena lebih memikirkan masalah lain dan mendesaknya segera mengundurkan diri dari Kongres AS. Anggota Kongres yang representatif semestinya dapat mengerti dan memahami serta memberikan hasil nyata bagi warga asal daerah yang bersangkutan, namun berbeda dengan Eni tidak representatif terhadap daerah asalnya dan tidak memperhatikan aspirasi warganya, tapi mencampuri permasalahan intern rumah tangga lain agar mendapat gelar “sang juru selamat”.

Demikian juga apa yang disampaikan oleh segelintir anggota Kongres AS dengan rencana membawa masalah Papua dalam Kongres AS dinilai mempunyai maksud-maksud tertentu yang mendeskreditkan Indonesia terhadap masalah Papua. Sehingga tidak mungkin Amerika yang juga mempunyai kepentingan di Indonesia akan mendukungnya. Sebagai bangsa besar, AS pasti akan menghormati kedaulatan negara lain dan urusan dalam negeri masing-masing negara dengan tidak turut campur terlibat persoalan negara lain (kecuali mereka berkepentingan). Yang terpenting bagi kita semua saat ini adalah memberdayakan bangsa sendiri dengan upaya dan jerih payah sendiri, dan tidak mengemis, meminta pertolongan bangsa lain. Bukankah memberi lebih baik daripada menerima ?

Selasa, 01 September 2009

Sejarah papua barat sebelum proklamasi kemerdekaan indonesia

Sejarah Papua Barat atau yang sebelumnya dikenal dengan nama Irian Jaya sebelum kemerdekaan Indonesia kurang dibahas dalam buku-buku sejarah nasional untuk sekolah dasar sampai menengah, sehingga banyak yang tidak mengetahuinya. Sejarah Papua Barat dalam hal hubungannya dengan bangsa-bangsa lain yang mendiami Kepulauan Nusantara sangat penting, karena apabila kita berbicara mengenai sejarah Indonesia, kurang lengkap rasanya jika tidak membahas Papua, karena ternyata sejarah Papua semenjak wilayah tersebut dibicarakan dalam sejarah, selalu berkaitan dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara yang akhirnya secara bersama-sama membentuk Negara Indonesia.

Sejarah Papua bagian barat dalam kaitannya sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sangatlah unik. Walaupun Papua “agak terlambat” diakui oleh dunia internasional sebagai bagian dari NKRI, namun sebenarnya sejak awal penduduk Papua sudah merupakan “keluarga besar” penduduk yang mendiami wilayah Nusantara yang kemudian bergabung dan membentuk Negara Indonesia.

Pada masa kerajaan di wilayah Nusantara, Pemerintah Kerajaan Sriwijaya tercatat pernah mengirimkan burung-burung asli Papua yang waktu itu disebut Janggi kepada Pemerintah Kerajaan China.

Dari beberapa nama masa lalu yang diberikan untuk Papua ini, tampak jelas bahwa sejak daerah ini di kenal sejarah, sudah ada hubungan yang amat erat antara wilayah ini dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara saat itu.

Nama lain dari Papua pada masa lalu adalah “Samudranta“, yang menunjukkan bahwa daerah Papua telah di kenal oleh masyarakat pemakai bahasa Sansekerta yang bermukim di wilayah kepulauan Indonesia, baik dalam pengertian geo-politik maupun sosial ekonomi. dan budaya dalam arti luas. Ramandey menulis bahwa pada abad pertama Masehi pengaruh Hindu dan India telah tersebar di seluruh Nusantara saat itu dan tidak hanya terbatas di Jawa dan Sumatera saja tetapi juga menyebar sampai ke timur termasuk Papua. Mungkin saja yang disebut “Pulau Ujung Samudranta “ itu adalah Pulau Nieuw Guinea. Rupanya pelaut-pelaut India telah sampai kesini, karena terbukti dari catatan-catatan dari orang India yang menyebut Irian itu Samudranta, yang berarti pulau diujung lautan. Ada besar kemungkinan mereka sudah berlayar sampai di daerah ini.”

Bila hal itu dihubungkan dengan Kerajaan Sriwijaya besar kemungkinan bahwa penamaan itu diberikan oleh kerajaan maritim itu, yang merupakan indikasi bahwa pulau Irian juga telah berada dibawah kontrol kekuasaannya.

Pada abad ke-13 seorang musafir Cina bernama Chau Yu Kua menulis bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat satu daerah bernama Tung-ki yang merupakan bagian dari suatu negara di Maluku. Tung-ki adalah nama Cina untuk Janggi atau Irian.

Pada masa Kerajaan Majapahit (1293 – 1520), Kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca juga secara eksplisit menyebutkan wilayah Papua sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit.

Setelah kedatangan bangsa Eropa, yaitu pada tahun 1660, sebuah perjanjian disepakati antara Tidore dan Ternate di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Timur Belanda yang menyatakan bahwa semua wilayah Papua berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore. Perjanjian ini menunjukkan bahwa pada awalnya Pemerintah Belanda sebenarnya mengakui Papua sebagai bagian dari penduduk di kepulauan Nusantara.

Peta Wilayah Asia Timur, Tenggara dan Selatan pada masa pemerintahan Hindia Belanda


Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan Papua dan para penduduknya di bawah Provinsi Maluku dengan Ambon sebagai ibukota pemerintahan. Menyatunya Papua dengan wilayah lain di Nusantara dipertegas dengan peta Pemerintah Belanda tahun 1931 yang menunjukkan bahwa wilayah colonial Belanda membentang dari Sumatera di sebelah barat sampai Papua di sebelah Timur. Papua juga tidak pernah disebutkan terpisah dari Hindia Belanda. Fakta ini menunjukkan bahwa berdasarkan sejarah, Papua merupakan bagian dari bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara yang akhirnya membentuk Negara Indonesia.

Peta wilayah Hindia Belanda


Peta wilayah pendudukan Jepang


Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan pernyataan kemerdekaan seluruh wilayah bekas Hindia Belanda menjadi Negara Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Sumber
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2334454

Kamis, 20 Agustus 2009

Sejarah Papua Tidak Terlepas Dari Masa Lalu Indonesia

Sejarah Papua tidak bisa dilepaskan dari masa lalu Indonesia. Papua adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Sebagian besar daratan Papua masih berupa hutan belantara. Papua merupakan pulau terbesar ke-dua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua. Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk diantara kedua negara sebetulnya memiliki kekerabatan etnis, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah garis perbatasan.

Papua memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus, karena terdiri dari lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara ke selatan.

Seperti juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua berasal dari daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan kapal laut. Migrasi itu dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan mengakibatkan mereka berada di luar peradaban Indonesia yang modern, karena mereka tidak mungkin untuk melakukan pelayaran ke pulau-pulau lainnya yang lebih jauh.

Para penjelajah Eropa yang pertama kali datang ke Papua, menyebut penduduk setempat sebagai orang Melanesia. Asal kata Melanesia berasal dari kata Yunani, ‘Mela’ yang artinya ‘hitam’, karena kulit mereka berwarna gelap. Kemudian bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan juga bangsa Portugis yang berinteraksi secara dekat dengan penduduk Papua, menyebut mereka sebagai orang Papua.

Papua sendiri menggambarkan sejarah masa lalu Indonesia, dimana tercatat bahwa selama abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan, mengirimkan persembahan kepada kerajaan China. Didalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua, yang pada waktu itu dikenal sebagai ‘Janggi’.

Dalam catatan yang tertulis didalam kitab Negara Kertagama, Papua juga termasuk kedalam wilayah kerajaan Majapahit (1293-1520). Selain tertulis dalam kitab yang merupakan himpunan sejarah yang dibuat oleh pemerintahan Kerajaan Majapahit tersebut, masuknya Papua kedalam wilayah kekuasaan Majapahit juga tercantum di dalam kitab Prapanca yang disusun pada tahun 1365.

Walaupun terdapat kontroversi seputar catatan sejarah tersebut, namun hal itu menegaskan bahwa Papua adalah sebagai bagian yang tidak terlepas dari jaringan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang berada dibawah kontrol kekuasaan kerajaan Majapahit.

Selama berabad-abad dalam paruh pertama millennium kedua, telah terjalin hubungan yang intensif antara Papua dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, dimana hubungan tersebut bukan hanya sekedar kontak perdagangan yang bersifat sporadis antara penduduk Papua dengan orang-orang yang berasal dari pulau-pulau terdekat.

Selama kurun waktu tersebut, orang-orang dari pulau terdekat yang kemudian datang dan menjadi bagian dari Indonesia yang modern, menyatukan berbagai keragaman yang terserak didalam kawasan Papua. Hal ini tentunya membutuhkan interaksi yang cukup intens dan waktu yang tidak sebentar agar para penduduk di Papua bisa belajar bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, apalagi mengingat keaneka-ragaman bahasa yang mereka miliki. Pada tahun 1963, dimana dari sekitar 700.000 populasi penduduk yang ada, 500.000 diantara mereka berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak difahami antara satu dengan yang lainnya.

Beragamnya bahasa diantara sedikitnya populasi penduduk tersebut diakibatkan karena terbentuknya kelompok-kelompok yang diisolasi oleh perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya selama berabad-abad yang disebabkan oleh kepadatan hutan dan juga jurang yang curam yang sulit untuk dilalui yang memisahkan mereka, oleh karena itu sekarang ini ada sebanyak 234 bahasa pengantar di Papua, dua dari bahasa kedua tanpa pembicara asli. Banyak dari bahasa ini hanya digunakan oleh 50 atau kurang pemakainya. Beberapa golongan kecil tentang ini sudah punah, seperti Tandia, yang hanya digunakan oleh dua pembicara dan Mapia yang hanya digunakan oleh satu pembicara.

Sekarang ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa pengantar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan merupakan bahasa didalam melakukan berbagai transaksi. Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa melayu, versi pasar.

Kedatangan bangsa Eropa

Selama abad 16, para pelaut Spanyol melihat jalur yang lebih baik ke kepulauan Spice dengan melalui Papua. Pada 1529, Alvaro de Saavedra, seorang berkebangsaan spanyol, merupakan orang Eropa pertama yang datang menginjakkan kakinya di Papua. Selanjutnya para pelaut spanyol lainnya, Ynigo Ortiz de Retez, menetap cukup lama sehingga cukup untuk mengklaim bahwa Papua adalah masuk wilayah kekuasaan Spanyol dan menamakan pulau tersebut sebagai Nueva Gvince (New Guinea) setelah melihat fakta bahwa penduduk asli berkulit gelap seperti orang-orang afrika. Misi mereka kesini adalah untuk mencari emas namun mereka tidak menemukan apa-apa.

Kemudian mereka menuju Panama dan tidak pernah kembali lagi, tetapi nama yang diberikan untuk pulau yang mereka temukan tetap digunakan, dan hingga beberapa waktu lamanya bagian barat pulau tersebut mereka sebut dengan West New Guinea atau Netherlands New Guinea dimana sekarang ini sebagian dari pulau tersebut merupakan wilayah dari Negara Papua New Guinea. Segera setelah serbuan singkat bangsa spanyol, karena perdagangan rempah-rempah, bangsa portugis kembali membuat kolonisasi Timor, tetapi bukan pulau besar, yang mereka sebut sebagai Ilha Papoia.

Di awal abad 17, pelaut Belanda membuat percobaan sementara untuk menduduki pulau tetapi dipukul mundur oleh penduduk pribumi. Basis Eropa pertama adalah Inggris yang didirikan dengan benteng di bagian barat pulau pada tahun 1793 tetapi kemudian ditinggalkan setelah dua tahun, sebagai penghuni tetap harus membinasakan oleh penyebaran penyakit dan juga gangguan dari colonial lainnya.

Agar dapat tetap melakukan perdagangan dengan bagian sebelah barat pulau dan tetap penyelesaian disini, Belanda membuat sebuah rencana dengan sultan Tidore di Maluku Utara yang mengklaim kedaulatan diluar bagian sebelah utara wilayah mereka. Melalui undang-undang pemerintah belanda pada 1814 dan 1848, perjanjian ini diperluas untuk mencakup seluruh bagian barat pulau, sedangkan bagian lain telah diklaim sebagai milik Inggris dan Jerman dimana selanjutnya oleh inggris sendiri.

Belanda telah eksis dan memperkuat basis di jawa dan bagian-bagian lain dari Indonesia, dengan membangun kekuatan di West New Guinea melalui otoritas sultan tidore. Memasuki akhir abad 19, Belanda bertujuan untuk memisahkan West New Guinea dari Kekuasaan Sultan Tidore dan melakukan kontrol langsung terhadap Papua.

Pada 1905, belanda mengambil alih klaim sultan atas wilayah barat West New Guinea melalui konpensasi pembayaran, dan membuat keseimbangan posisi yang sama dengan bagian sebelah utara. Upaya ini menimbulkan kontroversi di kalangan internal pemerintah belanda saat bertemu dengan kekuatan perlawanan.

Meskipun demikian pada 1909, pemerintah Hindia Belanda dengan sultan menandatangani bahwa di wilayah bagian timur kepulauan Indonesia, termasuk Tidore, sebuah perjanjian yang memberikan belanda untuk mengambil kontrol langsung mereka dalam hal ini wilayah pemerintahan sendiri sewaktu-waktu.

Menurut beberapa analisa, jauh sebelum itu, sesunggunya telah ada pengakuan internasional yang efektif bahwa West New Guinea merupakan bagian dan paket dari Hindia-Belanda Timur (Netherlands East Indies).

Pada beberapa waktu yang singkat, selama perang Napoleon pada awal abad 19, Belanda menghasilkan East Indies untuk memperkuat tentara Inggris. Ketika perang berakhir, Inggris mengembalikan koloni yang mereka dapat dari Belanda sesuai dengan London Agreement (1814-1824). Khususnya disebutkan didalam perjanjian dimana bagian sebelah timur pulau dari Netherlands East Indies, termasuk Netherlands New Guinea.

Karena itu dibuat perjanjian perbatasan antara British New Guinea dan Netherlands New Guinea. Perbatasan ini menegaskan kembali konfirmasi surat parlemen Inggris pada juli 1886, terutama mengenai “Correspondence respecting New Guinea” yang memberikan perhatian khusus pada perbatasan.

Sebagai koloni Belanda sejak awal abad 19 hingga menjelang pertengahan abad 20, Papua belum pernah dieksploitasi dan sebagian besar wilayahnya hanya dijadikan sebagai pusat dimana belanda dapat mengkontrol jalur laut dari perdagangan rempah-rempah.

Papua juga merupakan tempat pembuangan atau pengasingan para pembangkang dari Indonesia yang tidak sepaham dengan otoritas Belanda. Sebagai tempat pembuangan untuk perorangan yang menentang Belanda, Papua memiliki peran didalam perjuangan Indonesia untuk merebut kemerdekaan diawal abad 20.

Di akhit tahun 1920, sebanyak 823 orang Indonesia bersama-sama dengan anak dan istrinya, 473 orang, dikucilkan dan mencoba tinggal di Tanah Merah, sekitar 500 kilometer ke arah hulu Sungai Digul di Papua. Mereka adalah orang-orang yang dituduh terlibat membangkitkan semangat anti-kolonial di berbagai bagian di Indonesia.

Tanah Merah tidak dibersihkan dari infeksi nyamuk di tengah hutan, dimana untuk mencapai daerah tersebut diperlukan waktu tiga hari dengan menggunakan motor-boat dari muara sungai di pantai utara. Ini merupakan tempat mengerikan yang saat itu menjadi tempat tinggal sementara bagi para pemimpin bangsa Indonesia seperti Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta. Selama mereka ditempatkan di Tanah Merah, Hatta, sebagai salah seorang pendiri Republik Indonesia, menulis buku “Alam Fikiran Yunani” (The World of Greek Thoughts), yang merupakan risalah mengenai perdamaian dan demokrasi.

Pengasingan para pejuang Indonesia di Digul dan menghabiskan waktu di Digul atau sebagai ex-Digul, merupakan lambang penghargaan diantara lingkaran pejuang di Indonesia. Karena itu, Digul memperkuat rasa kekeluargaan diantara orang Papua dengan orang-orang dari berbagai propinsi di Indonesia.

Piagam Pemindahan Kedaulatan

Artikel pertama dari Piagam Pemindahan Kedaulatan, menyatakan sebagai berikut :

” The Kingdom of the Netherlands unconditionally and irrevocably transfers complete sovereignty over Indonesia to the Republic of the United States of Indonesia and thereby recognizes said Republic of the United States of Indonesia as an independent and sovereign State”

Merujuk kepada dokumen tersebut, wilayah Indonesia tentunya adalah bekas Netherlands East Indies, dimana di dalam pemikiran semua orang yang menaruh perhatian terhadap hal ini, wilayah West New Guinea termasuk didalamnya. Pada waktu itu seluruh wilayah West New Guinea tersebut telah menjadi sebuah residen, dimana selama perundingan Belanda menyatakan bahwa residen West New Guinea telah menjadi sebuah unit administratif di dalam pemerintahan Netherlands East Indies. Di dalam laporannya kepada PBB pada tahun 1949, Pemerintah Belanda menyatakan bahwa Indonesia terdiri dari deretan kelompok pulau-pulau di wilayah equator yang memanjang dari dataran Asia hingga ke Australia, kelompok utamanya adalah Paparan Sunda, Maluku dan West New Guinea, yang dibatasi oleh garis 141 derajat Bujur Timur.

Tetapi ketika pertanyaan mengenai West New Guinea mengemuka dalam perundingan, Belanda berargumentasi bahwa negara Indonesia tidak memiliki kapabilitas di dalam pelayanan sipil untuk mengatur wilayah yang sangat luas dan belum dibangun itu, apalagi dengan adanya peperangan antar suku yang terjadi hampir setiap hari. Indonesia mengakui bahwa hal ini memang sebuah kendala, tetapi Indonesia akan berupaya mengatasi hal ini sejalan dengan bergulirnya waktu, sehingga pemerintahan yang baru dapat membangun kapabilitas untuk mengatur hal ini.

Akhirnya, setelah menyampaikan berbagai argumentasi, semua pihak sepakat untuk memasukkan permasalahan ini kedalam atikel kedua dari Piagam Pemindahan Kedaulatan :

“ in view of the fact that it has not been possible to reconcile the views of the parties on New Guinea, which remain, therefore, in dispute”.

“ in view of the dedication of the parties to the principle of resolving by peaceful and reasonable means any differences that may hereafter arise between them”,

“ That the status quo of the residency of New Guinea shall be maintained with the stipulation that within a year from the date of transfer of sovereignty to the Republic of the United States of Indonesia, the question of the political status of New Guinea be determined through negotiations between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands”

Melalui kompromi tersebut, pada akhirnya Belanda menyetujui bahwa Kedaulatan Indonesia adalah bekas Netherlands East Indies termasuk West New Guinea, dan akan dialihkan dari Kerajaan Belanda kepada NKRI pada tanggal 27 Desember 1949.

Tetapi kompromi tersebut memicu kemarahan berbagai pihak di Indonesia, karena didalam Piagam Pemindahan Kedaulatan tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia. Belanda dan lembaga keuangan internasional telah mengeluarkan biaya untuk pembangunan, oleh karena itu NKRI berkewajiban membayar sejumlah $ 1,13 milyar, termasuk biaya intervensi militer Belanda yang mencapai separuh dari jumlah yang harus dibayarkan tersebut, dan ini bertentangan dengan hukum internasional.

Kemarahan inilah yang menjadi faktor utama semakin cepatnya keruntuhan Pemerintahan Federal Indonesia. Kemarahan ini terus berlanjut hingga aturan Belanda mengenai West New Guinea dan kewajiban pembayaran yang memberatkan pemerintahan baru tersebut memunculkan pergerakan yang menentang ketentuan tersebut.

Jalan Menuju Kemerdekaan

Bagi bangsa Indonesia, bagaimanapun tidak mungkin untuk kembali ke masa sebelum proklamasi kemerdekaan, yaitu masa dimana seluruh kepulauan Nusantara sebagai Netherlands East Indies. Dua hari setelah naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, sebagai founding father Republik Indonesia, Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mengumumkan formasi Republik Indonesia yang terdiri atas 8 propinsi, yaitu: Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Dataran Sunda, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan. Papua adalah bagian dari propinsi Maluku, sebagaimana halnya pada masa penjajahan Belanda.

Empat hari kemudian, Presiden Soekarno menyampaikan pidato nasionalnya di radio dengan kata pembukaan “Rakyatku di Sumatera, di Jawa, di Borneo, Sulawesi, Dataran Sunda, Maluku-dari Aceh sampai Merauke”. Merauke adalah sebuah kota yang terletak di bagian paling timur di Indonesia dan merupakan pintu gerbang ke Papua bagian selatan.

Selama masa perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan Belanda, slogan “Dari Sabang sampai Merauke” menjadi sangat populer dan menjadi referensi mengenai wilayah Republik Indonesia itu sendiri. Sabang adalah sebuah kota yang terletak paling barat di Aceh, dan bagian paling barat dari Sumatera, sedangkan Merauke merupakan wilayah di Papua. Jadi sejak awal pembentukan negara Republik Indonesia, Papua telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Pada saat Republik Indonesia baru saja diproklamirkan, Belanda mencoba memaksa untuk kembali ke Indonesia dan melakukan penindasan. Hal ini tentu saja mengobarkan rasa kebencian dan dendam bagi rakyat Indonesia, yang dengan revolusioner memutuskan untuk berperang menentang Belanda. Kebulatan tekad dari sebuah republik yang masih muda untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Belanda kemudian mencoba untuk berunding dan melakukan berbagai upaya tipu daya untuk memperdayai republik. Pada bulan Juli 1946, Pemerintah Kolonial Belanda mensponsori pelaksanaan konferensi Malino di Makasar, Sulawesi selatan. Dalam konferensi tersebut, Gubernur Jenderal HJ van Mook mengajukan proposal pembentukan Negara Federasi Indonesia, dimana republik dipecah menjadi tiga. Dua yang lainnya adalah Negara Indonesia Timur (termasuk didalamnya Papua), dan Negara Kalimantan.

Proposal ini dianggap sebagai upaya ‘Malinosasi’, yaitu istilah baru untuk taktik lama Belanda didalam memecah belah dan menaklukkan Indonesia. Belanda menunjuk Franz Kaisiepo, seorang pemimpin pribumi, untuk mewakili Papua pada konferensi Malino tersebut. Tetapi Franz Kaisiepo, menolak gagasan Belanda untuk membentuk negara federasi, dan sebaliknya malah mengajukan gagasan untuk merubah nama Netherlands Niew Guinea menjadi ‘iryan’. Sebuah kata dalam bahasa pulau Biak yang berarti ‘cahaya matahari yang menembus kabut laut’. Kata ini biasa diucapkan oleh para nelayan Biak untuk mengungkapkan harapan mereka agar selamat di dalam mencapai Papua dan melewati horizon. Sumber lainnya mengartikan ‘iryan’ sebagai ‘pulau berkabut yang naik dari laut’.

Beberapa tahun kemudian Indonesia berupaya mengkampanyekan restorasi Papua Barat dari kontrol Belanda, dimana Indonesia kemudian membuat akronim Irian sebagai Ikut Republik Indonesia, Anti Nederlands.

Tidak senang dengan apa yang mereka sebut sebagai antusiasme Kaisiepo yang salah arah, pada pelaksanaan konferensi selanjutnya di Denpasar, Bali pada bulan Desember 1946, otoritas Belanda menunjuk orang lain yang berasal dari daerah yang sama dengan Kaisiepo. Para pemimpin masyarakat di Papua tentu saja menentang dengan keras keputusan tersebut, namun tidak ada gunanya.

Dalam konferensi tersebut, van Mook melakukan upaya-upaya lebih lanjut untuk mengeluarkan West New Guinea dari proposal Negara Indonesia Timur. Tetapi karena dianggap bisa memunculkan gerakan separatis yang menyeluruh dari sebuah entitas politik, maka gagasan van Mook tidak mendapat tanggapan dari para peserta konferensi.

Hal itu merupakan sebuah catatan penting selama periode ini, dimana Partai Kamerdekaan Indonesia Irian, sebagai organisasi politik yang besar dan aktif di West New Guinea menjadi figur yang signifikan di dalam melakukan perjuangan secara revolusioner. Dan secara kebetulan semua pihak memiliki perhatian yang sama dalam hal ini, dimana perjuangan baru terhenti ketika Belanda terpaksa harus melakukan perundingan dengan serius dibawah tekanan Dewan Keamanan PBB dan AS.

Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan di Netherlands pada tanggal 23 Agustus - 2 November 1949, yaitu antara perwakilan Kerajaan Belanda, Republik Indonesia, dan Pemerintahan Lokal Belanda di Indonesia. Konferensi ini pada akhirnya menghasilkan sebuah agreement yang menetapkan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.

Papua Di Tengah Kecamuk Perang Dunia II

Belanda berupaya mengambil alih kembali kendali atas Indonesia melalui operasi penyerbuan militer yang dimulai sejak dekade ke-5 abad 20, di tengah-tengah berkecamuknya Perang Dunia Kedua (PD II). Pada waktu itu kekuatan militer bangsa-bangsa Asia diserbu, dimana sebelumnya Belanda telah berupaya untuk kembali menguasai wilayah jajahannya tanpa perlu melakukan peperangan yang berarti. Sebab waktu itu Netherlands New Guinea secara administratif telah dipersiapkan dan ditempatkan sebagai sebuah provinsi dari Maluku. Pusat Pemerintahan Propinsi berkedudukan di kota Ambon, dan terdiri dari dua Keresidenan, yaitu Keresidenan Ambon yang mencakup wilayah bagian selatan Irian Barat, dan Keresidenan Ternate yang mencakup wilayah bagian utara.

Dalam waktu yang singkat, New Guinea (Papua) telah sedikit menyita perhatian dunia. Dimana PD II telah menempatkan Papua kedalam peta dunia sebagai wilayah strategis yang penting, yaitu sebagai pintu gerbang untuk menuju ke kepulauan Indonesia dan Filipina, di samping juga sebagai batu loncatan ke Asia Timur dan penyangga bagi Australia.

Jurang-jurang yang curam di hutan-hutan New Guinea merupakan senjata alamiah yang mampu menghentikan tank-tank penghancur milik tentara Kerajaan Jepang untuk menuju lebih jauh ke selatan. Karena tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh ke selatan, kemudian tentara Jepang mendirikan benteng yang kuat di pesisir utara Papua dan mengambil alih kota Hollandia yang kemudian dikenal sebagai ibu kota Provinsi Jayapura.

Jenderal Douglas MacArthur merebut kembali Hollandia melalui serbuan pada sebuah operasi pembersihan yang dilakukan pada bulan April 1944, dan menjadikan serbuan ini sebagai salah satu aksi militer Sekutu yang terkenal, dan merupakan langkah awal MacArthur didalam melancarkan gerakan Sekutu menuju utara, yaitu Jepang. Setelah berhasil merebut kembali Hollandia, MacArthur kemudian memimpin tentara Sekutu untuk menggelar serangkaian peperangan yang sengit dan memenangkannya di pulau Wakde dan teluk Maffin di pesisir Sansapor. Selanjutnya pada bulan Maret di pulau Biak, dan terakhir di Morotai sebelum mereka memberikan jaminan dikuasainya kembali Netherland New Guinea.

Peperangan yang paling berdarah adalah yang terjadi di pulau Biak, dimana 10.000 pasukan yang dipersiapkan oleh Jepang terus bertahan hingga tetes darah terakhir. Secara keseluruhan Operasi New Guinea yang dilancarkan oleh Sekutu ini hanya membutuhkan waktu 4 bulan, yaitu dari mulai April hingga Juli 1944.

Tetapi peperangan masih terus berlanjut pada tahun berikutnya, hingga dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, yang pada akhirnya membuat Jepang benar-benar menyerah kepada Sekutu. Kekalahan Jepang ini kemudian dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaannya yang dilakukan oleh para pendiri Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah negara merdeka yang baru lahir, Indonesia tentunya dihadapkan pada persoalan sumber daya manusia yang masih sangat terbatas. Dan persoalannya menjadi bertambah buruk, karena ternyata Belanda kembali ke Indonesia pada bulan Oktober 1945 dengan membonceng kemenangan Sekutu. Belanda ingin melanjutkan kembali kekuasaan mereka di Indonesia.

Kegeraman Indonesia

Kemarahan Indonesia terhadap sikap Belanda yang mengulur-ulur waktu soal isu Irian Barat pada akhirnya meledak pada tahun 1957. Indonesia akhirnya menghentikan operasi perusahaan-perusahaan Belanda, sejalan dengan pergerakan umum para pekerja Indonesia yang merampas seluruh perusahaan pertanian, perkebunan, industrial dan perusahaan komersial yang berada di Indonesia.

Sementara itu, Menteri Kehakiman Indonesia memerintahkan sebanyak 50.000 orang Belanda yang berada di Indonesia untuk meninggalkan Indonesia sebelum akhir tahun. Pemerintah Indonesia mengambil alih kontrol atas kekayaan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, yang diperkirakan mencapai sekitar $ 2 milyar dan memutuskan seluruh jaringan yang memiliki kemungkinan berhubungan dengan Netherlands.

Pada bulan Agustus 1960, Indonesia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Netherlands, sehingga Belanda dan kalangan Negara-negara Barat mulai mencemaskan tentang ancaman pergerakan Indonesia yang akan merebut kembali Irian Barat melalui kekuatan militer, karena saat itu Indonesia telah meningkatkan kemampuan militernya dengan bantuan dari Uni Soviet.

Hal ini telah menempatkan Belanda kedalam suasana kekhawatiran yang tinggi, meskipun kemudian mereka mengirimkan sebuah pesawat pengangkut ke perairan Irian Barat untuk mempersiapkan perlindungan terhadap wilayah yang mereka anggap sebagai wilayah teritorial mereka. Namun tidak ada seorangpun dari mereka yang bersungguh-sungguh untuk bertempur dalam perang mempertahankan Irian Barat tersebut.

Pada akhir tahun yang sama, PM Malaya, Tunku Abdul Rahman, mencoba membawa Netherlands dan Indonesia untuk melakukan perundingan kembali. Tunku Abdul Rahman mengusulkan agar Irian Barat dapat dipindahkan ke PBB sebagai wilayah yang dipercayakan, dan kemudian secepatnya dipindahkan ke Indonesia.

Akan tetapi usulan Tunku Abdul Rahman mensyaratkan tidak adanya campur tangan dari kedua belah pihak. Belanda menyetujui usulan untuk menempatkan Irian Barat dibawah perwalian PBB, namun demikian Belanda tidak menyetujui apabila dengan serta merta secara otomatis kemudian diserahkan kepada Indonesia setelah beberapa waktu.

Sementara itu Indonesia hanya tertarik dengan pemindahan kedaulatan secara langsung tanpa melalui penengah atau perwalian. Pemindahan kedaulatan itu akan dilakukan setelah mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pemilihan secara bebas oleh masyarakat Irian. Ironisnya adalah setelah beberapa tahun kemudian, mereka mengambil rencana tersebut, tetapi memperluas usulan Tunku Abdul Rahman.

Belanda beralasan bahwa masyarakat Irian itu terpisah dan berbeda dari bangsa Indonesia lainnya, dan oleh karena itu mereka memerlukan hak untuk memutuskan nasib mereka sendiri melalui proses politik dari awal hingga akhir. Disini Belanda tidak menegaskan bahwa masyarakat Irian tidak menginginkan menjadi bagian dari Indonesia, tetapi hanya mengharapkan bahwa masyarakat Irian dapat memutuskan nasibnya sendiri.

Bagi Indonesia, masyarakat Papua telah siap membuat keputusannya sendiri, dan memilih untuk bergabung dengan Indonesia, karena dengan demikian mereka memiliki sandaran didalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan, apalagi secara legal Irian Barat memang merupakan bagian dari Indonesia. Adapun pertanyaan mengenai etnis Papua, bagi Indonesia itu dianggap tidak relevan, karena banyak populasi di beberapa propinsi di Indonesia bagian timur yang juga merupakan etnis Papua, seperti orang-orang di Irian Barat pada umumnya.

Melihat perbedaan pandangan pada point ini, kelihatannya akan terjadi deadlock untuk seterusnya, dan perselisihan hanya bisa diselesaikan melalui konflik bersenjata antara Netherlands dan Indonesia. Namun secara kebetulan, semua pihak yang terkait dan menaruh perhatian terhadap realitas geopolitik Irian Barat pada waktu ini, telah membuat perubahan, yaitu dengan membuka jendela kesempatan, dari deadlock menjadi sebuah resolusi melalui perundingan-perundingan.

Keterlibatan PBB

Oleh karena berbagai penghianatan kerap dilakukan oleh Belanda terhadap bangsa Indonesia, maka untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, Indonesia hanya mempunyai satu harapan, yaitu PBB. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia kemudian mengangkat persoalan Irian Barat ini ke Sidang Umum PBB ke-sembilan, yaitu pada tahun 1954.

Setelah mempertimbangkan permasalahannya, Komisi Pertama Sidang Umum PBB kemudian melakukan voting untuk mengambil 2/3 suara mayoritas, agar bisa dilakukan resolusi memanggil Belanda untuk kembali melakukan perundingan. Namun ketika resolusi ini diajukan ke Sidang Umum, ternyata hasil voting tidak mencukupi, sehingga Sidang Umum tidak bisa mengadopsi resolusi tersebut.

Pada bulan April 1955, Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan di Bandung. Pertemuan ini merupakan pertemuan generasi pertama para pemimpin dari dua benua tersebut untuk menyuarakan tentang dekolonisasi dan mengadopsi hal-hal yang terkait dengan itu, disamping juga mendorong resolusi posisi Indonesia didalam permasalahan Irian Barat. Konferensi menghimbau Pemerintah Belanda untuk membuka kembali perundingan dengan Indonesia, dan mengharapkan agar PBB mendampingi kedua belah pihak untuk mendapatkan solusi penyelesaian perselisihan secara damai.

Dan pada tahun itu juga, dengan dorongan dari negara-negara Asia dan Afrika, resolusi mengenai Irian Barat berhasil diambil oleh Sidang Umum PBB. Isu mengenai Irian Barat kembali diangkat beberapa kali dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1956, 1957, dan 1961, tetapi tidak ada resolusi yang dapat diadopsi pada tahun tersebut. Pada beberapa kasus, beberapa resolusi dari Sidang Umum PBB ini disangsikan, karena mendapatkan anggaran dari Netherlands.

Namun demikian, Irian Barat telah menjadi isu yang mendominasi kesadaran politik bangsa Indonesia. Mengetahui hal ini, Uni Soviet dan RRC kemudian memberikan support kepada Indonesia.

Disisi lain, AS membantu Indonesia hingga terselenggaranya KMB yang kemudian menghasilkan kesepakatan pemindahan kedaulatan dari Netherlands East Indies ke Indonesia. AS rupanya tidak bisa berpihak kepada Indonesia ataupun Belanda dalam isu Irian Barat ini. Dengan demikian maka posisi Netherland menjadi mengambang, apalagi setelah seluruh negara Eropa yang menjadi sekutu AS didalam PD II, mengambil sikap yang sama. Padahal Netherland adalah anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO), dimana AS adalah penggerak utamanya.

Oleh karena adanya support dari blok komunis dan juga sikap netral AS dalam isu Irian Barat ini, maka Pemerintah Indonesia secara wajar memberikan sikap timbal balik, karena seringkali posisi Uni Soviet dalam hal ini memperoleh voting yang tinggi di PBB. Bagi negara-negara Barat, khususnya bagi Presiden Dwight D. Eisenhower yang sangat kuat menentang komunis, situasi tersebut menggambarkan semakin dekatnya Indonesia kepada blok Timur secara ideologis.

Persepsi ini tentu saja mewarnai suasana perang dingin, sehingga akhirnya yang tersisa hanyalah sebagai isu bilateral antara Netherlands dan Indonesia. Isu Irian Barat pernah dianggap sebagai persoalan penting yang mempengaruhi perang dingin sehingga memperoleh perhatian internasional secara luas, begitulah yang tercatat didalam sejarahnya.

Deadlock Yang Semakin Mengeras

Pada bulan November 1951, Pemerintah Belanda mencoba melakukan perundingan lebih lanjut, namun tetap dengan proposal yang hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Belanda mengajukan proposal pengembangan konstitusi, dimana Irian Barat secara resmi didefinisikan termasuk didalam geografis Kerajaan Belanda untuk berbagai maksud dan tujuan. Hal ini nampak jelas dari salah satu point yang diajukan Belanda, yaitu bahwa Pemerintah Belanda tidak dapat melakukan perundingan mengenai status Irian Barat sekalipun tidak melanggar konstitusi.

Sementara itu konferensi tingkat menteri yang ketiga antara dua pihak, dilaksanakan pada bulan Desember 1951. Pada waktu ini Belanda menyampaikan bahwa perselisihan yang terjadi dapat diajukan untuk diproses di pengadilan (litigasi) sebelum diajukan ke Mahkamah Internasional. Untuk itu Indonesia kembali mengingatkan bahwa pokok persoalan dalam isu Irian Barat adalah masalah politik, bukan masalah hukum. Perundingan pada akhirnya ditangguhkan hingga adanya perubahan kebijakan didalam pemerintahan di Jakarta. Indonesia selanjutnya berupaya mengambil inisiatif untuk melanjutkan perundingan, namun ditolak oleh Belanda.

Papua, Negosiasi Dan Diplomasi

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara formal kembali didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950. Dan perundingan-perundingan mengenai isu Papua, dimana biasanya adalah membahas persoalan Irian Barat, mulai diluncurkan lebih awal, yaitu pada bulan Maret. Namun karena pokok pembicaraannya belum substantif, maka masing-masing delegasi menyiapkan suatu komisi untuk melakukan kunjungan langsung ke lapangan, dan kemudian membuat laporan untuk bahan pembahasan konferensi pada akhir tahun.

Deadlock yang terjadi sebenarnya disebabkan karena kurang jelasnya maksud dari pasal kedua Piagam Pemindahan Kedaulatan. Kekurangjelasan tersebut rupanya telah memicu kedua pihak berupaya untuk sesegera mungkin sampai kepada sebuah agreement.

Pokok persoalan perundingan dalam hal pemindahan kedaulatan ini, bagi Belanda adalah apakah kedaulatan tersebut juga termasuk West New Guinea. Pihak Indonesia menuntut bahwa pokok pembahasan perundingan adalah bagaimana Irian Barat secara administratif harus dipindahkan kedaulatannya kepada Indonesia seuai dengan pasal pertama Piagam Pemindahan Kedaulatan.

Walaupun ketidakjelasan dari pasal kedua Piagam Pemindahan Kedaulatan tersebut telah menyebabkan masing-masing pihak memiliki interpretasi yang berbeda, namun tetap diharapkan adanya jalan dan titik temu. Bagi sebagian besar pengamat waktu itu, persoalan pokoknya adalah pada pertanyaan tentang sejarah dan legalitas Irian Barat sebagai bagian dari Netherlands East Indies, karena hal ini akan menjadi pertimbangan yang kuat.

Secara luas dipercaya, bahwa pada suatu waktu Belanda membutuhkan tempat sebagai wilayah teritorial yang ekslusif bagi Belanda-Indonesia, namun tetap dengan memberlakukan peraturan kolonial Belanda. Hal ini di pahami oleh seluruh pengamat sebagai sebuah kerugian bagi Indonesia, dan bisa jadi juga mengejutkan bagi bangsa Belanda, karena secara politis sangat sulit bagi Pemerintah Belanda untuk bisa dengan segera mendirikan wilayah kolonial dengan tanpa perjuangan.

Pertemuan selanjutnya akan dilakukan segera sebelum tanggal 27 Desember 1950 sebagai upaya untuk melanjutkan kembali perundingan yang mengalami deadlock. Pihak Indonesia menyampaikan catatan usulan yang menyatakan bahwa perselisihan ini dapat diselesaikan apabila Belanda mengakui secara ‘de jure’ kedaulatan Republik Indonesia atas Irian Barat, dan pemindahan kedaulatan secara administratif dari Netherlands ke Indonesia bisa diimplementasikan melalui suatu perencanaan bersama pada pertengahan tahun 1951.

Indonesia juga menawarkan jaminan keadilan dan kepentingan kepada Belanda di Irian Barat dalam bentuk otonomi daerah sebagai sebuah rangsangan agar dihasilkannya sebuah agreement dengan Belanda. Sementara Belanda mengajukan proposal tandingan berupa penawaran pemindahan kedaulatan kepada Netherlands-Indonesia Union dimana otoritas administratif tetap dipegang oleh Netherlands dan Indonesia masuk kedalam Dewan Irian Barat dengan komposisi yang seimbang.

Bagi Indonesia, ini adalah sebuah perkembangan yang radikal dari komitmen Belanda sebelumnya dan merupakan sebuah upaya untuk melestarikan dominasi kolonial, karena itu Indonesia tidak dapat menerima proposal tersebut. Namun Belanda tetap pada pendiriannya, sehingga membuat perundingan kembali mengalami deadlock.