Kamis, 20 Agustus 2009

Sejarah Papua Tidak Terlepas Dari Masa Lalu Indonesia

Sejarah Papua tidak bisa dilepaskan dari masa lalu Indonesia. Papua adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Sebagian besar daratan Papua masih berupa hutan belantara. Papua merupakan pulau terbesar ke-dua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua. Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk diantara kedua negara sebetulnya memiliki kekerabatan etnis, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah garis perbatasan.

Papua memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus, karena terdiri dari lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara ke selatan.

Seperti juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua berasal dari daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan kapal laut. Migrasi itu dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan mengakibatkan mereka berada di luar peradaban Indonesia yang modern, karena mereka tidak mungkin untuk melakukan pelayaran ke pulau-pulau lainnya yang lebih jauh.

Para penjelajah Eropa yang pertama kali datang ke Papua, menyebut penduduk setempat sebagai orang Melanesia. Asal kata Melanesia berasal dari kata Yunani, ‘Mela’ yang artinya ‘hitam’, karena kulit mereka berwarna gelap. Kemudian bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan juga bangsa Portugis yang berinteraksi secara dekat dengan penduduk Papua, menyebut mereka sebagai orang Papua.

Papua sendiri menggambarkan sejarah masa lalu Indonesia, dimana tercatat bahwa selama abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan, mengirimkan persembahan kepada kerajaan China. Didalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua, yang pada waktu itu dikenal sebagai ‘Janggi’.

Dalam catatan yang tertulis didalam kitab Negara Kertagama, Papua juga termasuk kedalam wilayah kerajaan Majapahit (1293-1520). Selain tertulis dalam kitab yang merupakan himpunan sejarah yang dibuat oleh pemerintahan Kerajaan Majapahit tersebut, masuknya Papua kedalam wilayah kekuasaan Majapahit juga tercantum di dalam kitab Prapanca yang disusun pada tahun 1365.

Walaupun terdapat kontroversi seputar catatan sejarah tersebut, namun hal itu menegaskan bahwa Papua adalah sebagai bagian yang tidak terlepas dari jaringan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang berada dibawah kontrol kekuasaan kerajaan Majapahit.

Selama berabad-abad dalam paruh pertama millennium kedua, telah terjalin hubungan yang intensif antara Papua dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, dimana hubungan tersebut bukan hanya sekedar kontak perdagangan yang bersifat sporadis antara penduduk Papua dengan orang-orang yang berasal dari pulau-pulau terdekat.

Selama kurun waktu tersebut, orang-orang dari pulau terdekat yang kemudian datang dan menjadi bagian dari Indonesia yang modern, menyatukan berbagai keragaman yang terserak didalam kawasan Papua. Hal ini tentunya membutuhkan interaksi yang cukup intens dan waktu yang tidak sebentar agar para penduduk di Papua bisa belajar bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, apalagi mengingat keaneka-ragaman bahasa yang mereka miliki. Pada tahun 1963, dimana dari sekitar 700.000 populasi penduduk yang ada, 500.000 diantara mereka berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak difahami antara satu dengan yang lainnya.

Beragamnya bahasa diantara sedikitnya populasi penduduk tersebut diakibatkan karena terbentuknya kelompok-kelompok yang diisolasi oleh perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya selama berabad-abad yang disebabkan oleh kepadatan hutan dan juga jurang yang curam yang sulit untuk dilalui yang memisahkan mereka, oleh karena itu sekarang ini ada sebanyak 234 bahasa pengantar di Papua, dua dari bahasa kedua tanpa pembicara asli. Banyak dari bahasa ini hanya digunakan oleh 50 atau kurang pemakainya. Beberapa golongan kecil tentang ini sudah punah, seperti Tandia, yang hanya digunakan oleh dua pembicara dan Mapia yang hanya digunakan oleh satu pembicara.

Sekarang ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa pengantar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan merupakan bahasa didalam melakukan berbagai transaksi. Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa melayu, versi pasar.

Kedatangan bangsa Eropa

Selama abad 16, para pelaut Spanyol melihat jalur yang lebih baik ke kepulauan Spice dengan melalui Papua. Pada 1529, Alvaro de Saavedra, seorang berkebangsaan spanyol, merupakan orang Eropa pertama yang datang menginjakkan kakinya di Papua. Selanjutnya para pelaut spanyol lainnya, Ynigo Ortiz de Retez, menetap cukup lama sehingga cukup untuk mengklaim bahwa Papua adalah masuk wilayah kekuasaan Spanyol dan menamakan pulau tersebut sebagai Nueva Gvince (New Guinea) setelah melihat fakta bahwa penduduk asli berkulit gelap seperti orang-orang afrika. Misi mereka kesini adalah untuk mencari emas namun mereka tidak menemukan apa-apa.

Kemudian mereka menuju Panama dan tidak pernah kembali lagi, tetapi nama yang diberikan untuk pulau yang mereka temukan tetap digunakan, dan hingga beberapa waktu lamanya bagian barat pulau tersebut mereka sebut dengan West New Guinea atau Netherlands New Guinea dimana sekarang ini sebagian dari pulau tersebut merupakan wilayah dari Negara Papua New Guinea. Segera setelah serbuan singkat bangsa spanyol, karena perdagangan rempah-rempah, bangsa portugis kembali membuat kolonisasi Timor, tetapi bukan pulau besar, yang mereka sebut sebagai Ilha Papoia.

Di awal abad 17, pelaut Belanda membuat percobaan sementara untuk menduduki pulau tetapi dipukul mundur oleh penduduk pribumi. Basis Eropa pertama adalah Inggris yang didirikan dengan benteng di bagian barat pulau pada tahun 1793 tetapi kemudian ditinggalkan setelah dua tahun, sebagai penghuni tetap harus membinasakan oleh penyebaran penyakit dan juga gangguan dari colonial lainnya.

Agar dapat tetap melakukan perdagangan dengan bagian sebelah barat pulau dan tetap penyelesaian disini, Belanda membuat sebuah rencana dengan sultan Tidore di Maluku Utara yang mengklaim kedaulatan diluar bagian sebelah utara wilayah mereka. Melalui undang-undang pemerintah belanda pada 1814 dan 1848, perjanjian ini diperluas untuk mencakup seluruh bagian barat pulau, sedangkan bagian lain telah diklaim sebagai milik Inggris dan Jerman dimana selanjutnya oleh inggris sendiri.

Belanda telah eksis dan memperkuat basis di jawa dan bagian-bagian lain dari Indonesia, dengan membangun kekuatan di West New Guinea melalui otoritas sultan tidore. Memasuki akhir abad 19, Belanda bertujuan untuk memisahkan West New Guinea dari Kekuasaan Sultan Tidore dan melakukan kontrol langsung terhadap Papua.

Pada 1905, belanda mengambil alih klaim sultan atas wilayah barat West New Guinea melalui konpensasi pembayaran, dan membuat keseimbangan posisi yang sama dengan bagian sebelah utara. Upaya ini menimbulkan kontroversi di kalangan internal pemerintah belanda saat bertemu dengan kekuatan perlawanan.

Meskipun demikian pada 1909, pemerintah Hindia Belanda dengan sultan menandatangani bahwa di wilayah bagian timur kepulauan Indonesia, termasuk Tidore, sebuah perjanjian yang memberikan belanda untuk mengambil kontrol langsung mereka dalam hal ini wilayah pemerintahan sendiri sewaktu-waktu.

Menurut beberapa analisa, jauh sebelum itu, sesunggunya telah ada pengakuan internasional yang efektif bahwa West New Guinea merupakan bagian dan paket dari Hindia-Belanda Timur (Netherlands East Indies).

Pada beberapa waktu yang singkat, selama perang Napoleon pada awal abad 19, Belanda menghasilkan East Indies untuk memperkuat tentara Inggris. Ketika perang berakhir, Inggris mengembalikan koloni yang mereka dapat dari Belanda sesuai dengan London Agreement (1814-1824). Khususnya disebutkan didalam perjanjian dimana bagian sebelah timur pulau dari Netherlands East Indies, termasuk Netherlands New Guinea.

Karena itu dibuat perjanjian perbatasan antara British New Guinea dan Netherlands New Guinea. Perbatasan ini menegaskan kembali konfirmasi surat parlemen Inggris pada juli 1886, terutama mengenai “Correspondence respecting New Guinea” yang memberikan perhatian khusus pada perbatasan.

Sebagai koloni Belanda sejak awal abad 19 hingga menjelang pertengahan abad 20, Papua belum pernah dieksploitasi dan sebagian besar wilayahnya hanya dijadikan sebagai pusat dimana belanda dapat mengkontrol jalur laut dari perdagangan rempah-rempah.

Papua juga merupakan tempat pembuangan atau pengasingan para pembangkang dari Indonesia yang tidak sepaham dengan otoritas Belanda. Sebagai tempat pembuangan untuk perorangan yang menentang Belanda, Papua memiliki peran didalam perjuangan Indonesia untuk merebut kemerdekaan diawal abad 20.

Di akhit tahun 1920, sebanyak 823 orang Indonesia bersama-sama dengan anak dan istrinya, 473 orang, dikucilkan dan mencoba tinggal di Tanah Merah, sekitar 500 kilometer ke arah hulu Sungai Digul di Papua. Mereka adalah orang-orang yang dituduh terlibat membangkitkan semangat anti-kolonial di berbagai bagian di Indonesia.

Tanah Merah tidak dibersihkan dari infeksi nyamuk di tengah hutan, dimana untuk mencapai daerah tersebut diperlukan waktu tiga hari dengan menggunakan motor-boat dari muara sungai di pantai utara. Ini merupakan tempat mengerikan yang saat itu menjadi tempat tinggal sementara bagi para pemimpin bangsa Indonesia seperti Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta. Selama mereka ditempatkan di Tanah Merah, Hatta, sebagai salah seorang pendiri Republik Indonesia, menulis buku “Alam Fikiran Yunani” (The World of Greek Thoughts), yang merupakan risalah mengenai perdamaian dan demokrasi.

Pengasingan para pejuang Indonesia di Digul dan menghabiskan waktu di Digul atau sebagai ex-Digul, merupakan lambang penghargaan diantara lingkaran pejuang di Indonesia. Karena itu, Digul memperkuat rasa kekeluargaan diantara orang Papua dengan orang-orang dari berbagai propinsi di Indonesia.

Piagam Pemindahan Kedaulatan

Artikel pertama dari Piagam Pemindahan Kedaulatan, menyatakan sebagai berikut :

” The Kingdom of the Netherlands unconditionally and irrevocably transfers complete sovereignty over Indonesia to the Republic of the United States of Indonesia and thereby recognizes said Republic of the United States of Indonesia as an independent and sovereign State”

Merujuk kepada dokumen tersebut, wilayah Indonesia tentunya adalah bekas Netherlands East Indies, dimana di dalam pemikiran semua orang yang menaruh perhatian terhadap hal ini, wilayah West New Guinea termasuk didalamnya. Pada waktu itu seluruh wilayah West New Guinea tersebut telah menjadi sebuah residen, dimana selama perundingan Belanda menyatakan bahwa residen West New Guinea telah menjadi sebuah unit administratif di dalam pemerintahan Netherlands East Indies. Di dalam laporannya kepada PBB pada tahun 1949, Pemerintah Belanda menyatakan bahwa Indonesia terdiri dari deretan kelompok pulau-pulau di wilayah equator yang memanjang dari dataran Asia hingga ke Australia, kelompok utamanya adalah Paparan Sunda, Maluku dan West New Guinea, yang dibatasi oleh garis 141 derajat Bujur Timur.

Tetapi ketika pertanyaan mengenai West New Guinea mengemuka dalam perundingan, Belanda berargumentasi bahwa negara Indonesia tidak memiliki kapabilitas di dalam pelayanan sipil untuk mengatur wilayah yang sangat luas dan belum dibangun itu, apalagi dengan adanya peperangan antar suku yang terjadi hampir setiap hari. Indonesia mengakui bahwa hal ini memang sebuah kendala, tetapi Indonesia akan berupaya mengatasi hal ini sejalan dengan bergulirnya waktu, sehingga pemerintahan yang baru dapat membangun kapabilitas untuk mengatur hal ini.

Akhirnya, setelah menyampaikan berbagai argumentasi, semua pihak sepakat untuk memasukkan permasalahan ini kedalam atikel kedua dari Piagam Pemindahan Kedaulatan :

“ in view of the fact that it has not been possible to reconcile the views of the parties on New Guinea, which remain, therefore, in dispute”.

“ in view of the dedication of the parties to the principle of resolving by peaceful and reasonable means any differences that may hereafter arise between them”,

“ That the status quo of the residency of New Guinea shall be maintained with the stipulation that within a year from the date of transfer of sovereignty to the Republic of the United States of Indonesia, the question of the political status of New Guinea be determined through negotiations between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands”

Melalui kompromi tersebut, pada akhirnya Belanda menyetujui bahwa Kedaulatan Indonesia adalah bekas Netherlands East Indies termasuk West New Guinea, dan akan dialihkan dari Kerajaan Belanda kepada NKRI pada tanggal 27 Desember 1949.

Tetapi kompromi tersebut memicu kemarahan berbagai pihak di Indonesia, karena didalam Piagam Pemindahan Kedaulatan tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia. Belanda dan lembaga keuangan internasional telah mengeluarkan biaya untuk pembangunan, oleh karena itu NKRI berkewajiban membayar sejumlah $ 1,13 milyar, termasuk biaya intervensi militer Belanda yang mencapai separuh dari jumlah yang harus dibayarkan tersebut, dan ini bertentangan dengan hukum internasional.

Kemarahan inilah yang menjadi faktor utama semakin cepatnya keruntuhan Pemerintahan Federal Indonesia. Kemarahan ini terus berlanjut hingga aturan Belanda mengenai West New Guinea dan kewajiban pembayaran yang memberatkan pemerintahan baru tersebut memunculkan pergerakan yang menentang ketentuan tersebut.

Jalan Menuju Kemerdekaan

Bagi bangsa Indonesia, bagaimanapun tidak mungkin untuk kembali ke masa sebelum proklamasi kemerdekaan, yaitu masa dimana seluruh kepulauan Nusantara sebagai Netherlands East Indies. Dua hari setelah naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, sebagai founding father Republik Indonesia, Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mengumumkan formasi Republik Indonesia yang terdiri atas 8 propinsi, yaitu: Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Dataran Sunda, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan. Papua adalah bagian dari propinsi Maluku, sebagaimana halnya pada masa penjajahan Belanda.

Empat hari kemudian, Presiden Soekarno menyampaikan pidato nasionalnya di radio dengan kata pembukaan “Rakyatku di Sumatera, di Jawa, di Borneo, Sulawesi, Dataran Sunda, Maluku-dari Aceh sampai Merauke”. Merauke adalah sebuah kota yang terletak di bagian paling timur di Indonesia dan merupakan pintu gerbang ke Papua bagian selatan.

Selama masa perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan Belanda, slogan “Dari Sabang sampai Merauke” menjadi sangat populer dan menjadi referensi mengenai wilayah Republik Indonesia itu sendiri. Sabang adalah sebuah kota yang terletak paling barat di Aceh, dan bagian paling barat dari Sumatera, sedangkan Merauke merupakan wilayah di Papua. Jadi sejak awal pembentukan negara Republik Indonesia, Papua telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Pada saat Republik Indonesia baru saja diproklamirkan, Belanda mencoba memaksa untuk kembali ke Indonesia dan melakukan penindasan. Hal ini tentu saja mengobarkan rasa kebencian dan dendam bagi rakyat Indonesia, yang dengan revolusioner memutuskan untuk berperang menentang Belanda. Kebulatan tekad dari sebuah republik yang masih muda untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Belanda kemudian mencoba untuk berunding dan melakukan berbagai upaya tipu daya untuk memperdayai republik. Pada bulan Juli 1946, Pemerintah Kolonial Belanda mensponsori pelaksanaan konferensi Malino di Makasar, Sulawesi selatan. Dalam konferensi tersebut, Gubernur Jenderal HJ van Mook mengajukan proposal pembentukan Negara Federasi Indonesia, dimana republik dipecah menjadi tiga. Dua yang lainnya adalah Negara Indonesia Timur (termasuk didalamnya Papua), dan Negara Kalimantan.

Proposal ini dianggap sebagai upaya ‘Malinosasi’, yaitu istilah baru untuk taktik lama Belanda didalam memecah belah dan menaklukkan Indonesia. Belanda menunjuk Franz Kaisiepo, seorang pemimpin pribumi, untuk mewakili Papua pada konferensi Malino tersebut. Tetapi Franz Kaisiepo, menolak gagasan Belanda untuk membentuk negara federasi, dan sebaliknya malah mengajukan gagasan untuk merubah nama Netherlands Niew Guinea menjadi ‘iryan’. Sebuah kata dalam bahasa pulau Biak yang berarti ‘cahaya matahari yang menembus kabut laut’. Kata ini biasa diucapkan oleh para nelayan Biak untuk mengungkapkan harapan mereka agar selamat di dalam mencapai Papua dan melewati horizon. Sumber lainnya mengartikan ‘iryan’ sebagai ‘pulau berkabut yang naik dari laut’.

Beberapa tahun kemudian Indonesia berupaya mengkampanyekan restorasi Papua Barat dari kontrol Belanda, dimana Indonesia kemudian membuat akronim Irian sebagai Ikut Republik Indonesia, Anti Nederlands.

Tidak senang dengan apa yang mereka sebut sebagai antusiasme Kaisiepo yang salah arah, pada pelaksanaan konferensi selanjutnya di Denpasar, Bali pada bulan Desember 1946, otoritas Belanda menunjuk orang lain yang berasal dari daerah yang sama dengan Kaisiepo. Para pemimpin masyarakat di Papua tentu saja menentang dengan keras keputusan tersebut, namun tidak ada gunanya.

Dalam konferensi tersebut, van Mook melakukan upaya-upaya lebih lanjut untuk mengeluarkan West New Guinea dari proposal Negara Indonesia Timur. Tetapi karena dianggap bisa memunculkan gerakan separatis yang menyeluruh dari sebuah entitas politik, maka gagasan van Mook tidak mendapat tanggapan dari para peserta konferensi.

Hal itu merupakan sebuah catatan penting selama periode ini, dimana Partai Kamerdekaan Indonesia Irian, sebagai organisasi politik yang besar dan aktif di West New Guinea menjadi figur yang signifikan di dalam melakukan perjuangan secara revolusioner. Dan secara kebetulan semua pihak memiliki perhatian yang sama dalam hal ini, dimana perjuangan baru terhenti ketika Belanda terpaksa harus melakukan perundingan dengan serius dibawah tekanan Dewan Keamanan PBB dan AS.

Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan di Netherlands pada tanggal 23 Agustus - 2 November 1949, yaitu antara perwakilan Kerajaan Belanda, Republik Indonesia, dan Pemerintahan Lokal Belanda di Indonesia. Konferensi ini pada akhirnya menghasilkan sebuah agreement yang menetapkan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.

Papua Di Tengah Kecamuk Perang Dunia II

Belanda berupaya mengambil alih kembali kendali atas Indonesia melalui operasi penyerbuan militer yang dimulai sejak dekade ke-5 abad 20, di tengah-tengah berkecamuknya Perang Dunia Kedua (PD II). Pada waktu itu kekuatan militer bangsa-bangsa Asia diserbu, dimana sebelumnya Belanda telah berupaya untuk kembali menguasai wilayah jajahannya tanpa perlu melakukan peperangan yang berarti. Sebab waktu itu Netherlands New Guinea secara administratif telah dipersiapkan dan ditempatkan sebagai sebuah provinsi dari Maluku. Pusat Pemerintahan Propinsi berkedudukan di kota Ambon, dan terdiri dari dua Keresidenan, yaitu Keresidenan Ambon yang mencakup wilayah bagian selatan Irian Barat, dan Keresidenan Ternate yang mencakup wilayah bagian utara.

Dalam waktu yang singkat, New Guinea (Papua) telah sedikit menyita perhatian dunia. Dimana PD II telah menempatkan Papua kedalam peta dunia sebagai wilayah strategis yang penting, yaitu sebagai pintu gerbang untuk menuju ke kepulauan Indonesia dan Filipina, di samping juga sebagai batu loncatan ke Asia Timur dan penyangga bagi Australia.

Jurang-jurang yang curam di hutan-hutan New Guinea merupakan senjata alamiah yang mampu menghentikan tank-tank penghancur milik tentara Kerajaan Jepang untuk menuju lebih jauh ke selatan. Karena tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh ke selatan, kemudian tentara Jepang mendirikan benteng yang kuat di pesisir utara Papua dan mengambil alih kota Hollandia yang kemudian dikenal sebagai ibu kota Provinsi Jayapura.

Jenderal Douglas MacArthur merebut kembali Hollandia melalui serbuan pada sebuah operasi pembersihan yang dilakukan pada bulan April 1944, dan menjadikan serbuan ini sebagai salah satu aksi militer Sekutu yang terkenal, dan merupakan langkah awal MacArthur didalam melancarkan gerakan Sekutu menuju utara, yaitu Jepang. Setelah berhasil merebut kembali Hollandia, MacArthur kemudian memimpin tentara Sekutu untuk menggelar serangkaian peperangan yang sengit dan memenangkannya di pulau Wakde dan teluk Maffin di pesisir Sansapor. Selanjutnya pada bulan Maret di pulau Biak, dan terakhir di Morotai sebelum mereka memberikan jaminan dikuasainya kembali Netherland New Guinea.

Peperangan yang paling berdarah adalah yang terjadi di pulau Biak, dimana 10.000 pasukan yang dipersiapkan oleh Jepang terus bertahan hingga tetes darah terakhir. Secara keseluruhan Operasi New Guinea yang dilancarkan oleh Sekutu ini hanya membutuhkan waktu 4 bulan, yaitu dari mulai April hingga Juli 1944.

Tetapi peperangan masih terus berlanjut pada tahun berikutnya, hingga dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, yang pada akhirnya membuat Jepang benar-benar menyerah kepada Sekutu. Kekalahan Jepang ini kemudian dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaannya yang dilakukan oleh para pendiri Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah negara merdeka yang baru lahir, Indonesia tentunya dihadapkan pada persoalan sumber daya manusia yang masih sangat terbatas. Dan persoalannya menjadi bertambah buruk, karena ternyata Belanda kembali ke Indonesia pada bulan Oktober 1945 dengan membonceng kemenangan Sekutu. Belanda ingin melanjutkan kembali kekuasaan mereka di Indonesia.

Kegeraman Indonesia

Kemarahan Indonesia terhadap sikap Belanda yang mengulur-ulur waktu soal isu Irian Barat pada akhirnya meledak pada tahun 1957. Indonesia akhirnya menghentikan operasi perusahaan-perusahaan Belanda, sejalan dengan pergerakan umum para pekerja Indonesia yang merampas seluruh perusahaan pertanian, perkebunan, industrial dan perusahaan komersial yang berada di Indonesia.

Sementara itu, Menteri Kehakiman Indonesia memerintahkan sebanyak 50.000 orang Belanda yang berada di Indonesia untuk meninggalkan Indonesia sebelum akhir tahun. Pemerintah Indonesia mengambil alih kontrol atas kekayaan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, yang diperkirakan mencapai sekitar $ 2 milyar dan memutuskan seluruh jaringan yang memiliki kemungkinan berhubungan dengan Netherlands.

Pada bulan Agustus 1960, Indonesia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Netherlands, sehingga Belanda dan kalangan Negara-negara Barat mulai mencemaskan tentang ancaman pergerakan Indonesia yang akan merebut kembali Irian Barat melalui kekuatan militer, karena saat itu Indonesia telah meningkatkan kemampuan militernya dengan bantuan dari Uni Soviet.

Hal ini telah menempatkan Belanda kedalam suasana kekhawatiran yang tinggi, meskipun kemudian mereka mengirimkan sebuah pesawat pengangkut ke perairan Irian Barat untuk mempersiapkan perlindungan terhadap wilayah yang mereka anggap sebagai wilayah teritorial mereka. Namun tidak ada seorangpun dari mereka yang bersungguh-sungguh untuk bertempur dalam perang mempertahankan Irian Barat tersebut.

Pada akhir tahun yang sama, PM Malaya, Tunku Abdul Rahman, mencoba membawa Netherlands dan Indonesia untuk melakukan perundingan kembali. Tunku Abdul Rahman mengusulkan agar Irian Barat dapat dipindahkan ke PBB sebagai wilayah yang dipercayakan, dan kemudian secepatnya dipindahkan ke Indonesia.

Akan tetapi usulan Tunku Abdul Rahman mensyaratkan tidak adanya campur tangan dari kedua belah pihak. Belanda menyetujui usulan untuk menempatkan Irian Barat dibawah perwalian PBB, namun demikian Belanda tidak menyetujui apabila dengan serta merta secara otomatis kemudian diserahkan kepada Indonesia setelah beberapa waktu.

Sementara itu Indonesia hanya tertarik dengan pemindahan kedaulatan secara langsung tanpa melalui penengah atau perwalian. Pemindahan kedaulatan itu akan dilakukan setelah mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pemilihan secara bebas oleh masyarakat Irian. Ironisnya adalah setelah beberapa tahun kemudian, mereka mengambil rencana tersebut, tetapi memperluas usulan Tunku Abdul Rahman.

Belanda beralasan bahwa masyarakat Irian itu terpisah dan berbeda dari bangsa Indonesia lainnya, dan oleh karena itu mereka memerlukan hak untuk memutuskan nasib mereka sendiri melalui proses politik dari awal hingga akhir. Disini Belanda tidak menegaskan bahwa masyarakat Irian tidak menginginkan menjadi bagian dari Indonesia, tetapi hanya mengharapkan bahwa masyarakat Irian dapat memutuskan nasibnya sendiri.

Bagi Indonesia, masyarakat Papua telah siap membuat keputusannya sendiri, dan memilih untuk bergabung dengan Indonesia, karena dengan demikian mereka memiliki sandaran didalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan, apalagi secara legal Irian Barat memang merupakan bagian dari Indonesia. Adapun pertanyaan mengenai etnis Papua, bagi Indonesia itu dianggap tidak relevan, karena banyak populasi di beberapa propinsi di Indonesia bagian timur yang juga merupakan etnis Papua, seperti orang-orang di Irian Barat pada umumnya.

Melihat perbedaan pandangan pada point ini, kelihatannya akan terjadi deadlock untuk seterusnya, dan perselisihan hanya bisa diselesaikan melalui konflik bersenjata antara Netherlands dan Indonesia. Namun secara kebetulan, semua pihak yang terkait dan menaruh perhatian terhadap realitas geopolitik Irian Barat pada waktu ini, telah membuat perubahan, yaitu dengan membuka jendela kesempatan, dari deadlock menjadi sebuah resolusi melalui perundingan-perundingan.

Keterlibatan PBB

Oleh karena berbagai penghianatan kerap dilakukan oleh Belanda terhadap bangsa Indonesia, maka untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, Indonesia hanya mempunyai satu harapan, yaitu PBB. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia kemudian mengangkat persoalan Irian Barat ini ke Sidang Umum PBB ke-sembilan, yaitu pada tahun 1954.

Setelah mempertimbangkan permasalahannya, Komisi Pertama Sidang Umum PBB kemudian melakukan voting untuk mengambil 2/3 suara mayoritas, agar bisa dilakukan resolusi memanggil Belanda untuk kembali melakukan perundingan. Namun ketika resolusi ini diajukan ke Sidang Umum, ternyata hasil voting tidak mencukupi, sehingga Sidang Umum tidak bisa mengadopsi resolusi tersebut.

Pada bulan April 1955, Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan di Bandung. Pertemuan ini merupakan pertemuan generasi pertama para pemimpin dari dua benua tersebut untuk menyuarakan tentang dekolonisasi dan mengadopsi hal-hal yang terkait dengan itu, disamping juga mendorong resolusi posisi Indonesia didalam permasalahan Irian Barat. Konferensi menghimbau Pemerintah Belanda untuk membuka kembali perundingan dengan Indonesia, dan mengharapkan agar PBB mendampingi kedua belah pihak untuk mendapatkan solusi penyelesaian perselisihan secara damai.

Dan pada tahun itu juga, dengan dorongan dari negara-negara Asia dan Afrika, resolusi mengenai Irian Barat berhasil diambil oleh Sidang Umum PBB. Isu mengenai Irian Barat kembali diangkat beberapa kali dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1956, 1957, dan 1961, tetapi tidak ada resolusi yang dapat diadopsi pada tahun tersebut. Pada beberapa kasus, beberapa resolusi dari Sidang Umum PBB ini disangsikan, karena mendapatkan anggaran dari Netherlands.

Namun demikian, Irian Barat telah menjadi isu yang mendominasi kesadaran politik bangsa Indonesia. Mengetahui hal ini, Uni Soviet dan RRC kemudian memberikan support kepada Indonesia.

Disisi lain, AS membantu Indonesia hingga terselenggaranya KMB yang kemudian menghasilkan kesepakatan pemindahan kedaulatan dari Netherlands East Indies ke Indonesia. AS rupanya tidak bisa berpihak kepada Indonesia ataupun Belanda dalam isu Irian Barat ini. Dengan demikian maka posisi Netherland menjadi mengambang, apalagi setelah seluruh negara Eropa yang menjadi sekutu AS didalam PD II, mengambil sikap yang sama. Padahal Netherland adalah anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO), dimana AS adalah penggerak utamanya.

Oleh karena adanya support dari blok komunis dan juga sikap netral AS dalam isu Irian Barat ini, maka Pemerintah Indonesia secara wajar memberikan sikap timbal balik, karena seringkali posisi Uni Soviet dalam hal ini memperoleh voting yang tinggi di PBB. Bagi negara-negara Barat, khususnya bagi Presiden Dwight D. Eisenhower yang sangat kuat menentang komunis, situasi tersebut menggambarkan semakin dekatnya Indonesia kepada blok Timur secara ideologis.

Persepsi ini tentu saja mewarnai suasana perang dingin, sehingga akhirnya yang tersisa hanyalah sebagai isu bilateral antara Netherlands dan Indonesia. Isu Irian Barat pernah dianggap sebagai persoalan penting yang mempengaruhi perang dingin sehingga memperoleh perhatian internasional secara luas, begitulah yang tercatat didalam sejarahnya.

Deadlock Yang Semakin Mengeras

Pada bulan November 1951, Pemerintah Belanda mencoba melakukan perundingan lebih lanjut, namun tetap dengan proposal yang hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Belanda mengajukan proposal pengembangan konstitusi, dimana Irian Barat secara resmi didefinisikan termasuk didalam geografis Kerajaan Belanda untuk berbagai maksud dan tujuan. Hal ini nampak jelas dari salah satu point yang diajukan Belanda, yaitu bahwa Pemerintah Belanda tidak dapat melakukan perundingan mengenai status Irian Barat sekalipun tidak melanggar konstitusi.

Sementara itu konferensi tingkat menteri yang ketiga antara dua pihak, dilaksanakan pada bulan Desember 1951. Pada waktu ini Belanda menyampaikan bahwa perselisihan yang terjadi dapat diajukan untuk diproses di pengadilan (litigasi) sebelum diajukan ke Mahkamah Internasional. Untuk itu Indonesia kembali mengingatkan bahwa pokok persoalan dalam isu Irian Barat adalah masalah politik, bukan masalah hukum. Perundingan pada akhirnya ditangguhkan hingga adanya perubahan kebijakan didalam pemerintahan di Jakarta. Indonesia selanjutnya berupaya mengambil inisiatif untuk melanjutkan perundingan, namun ditolak oleh Belanda.

Papua, Negosiasi Dan Diplomasi

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara formal kembali didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950. Dan perundingan-perundingan mengenai isu Papua, dimana biasanya adalah membahas persoalan Irian Barat, mulai diluncurkan lebih awal, yaitu pada bulan Maret. Namun karena pokok pembicaraannya belum substantif, maka masing-masing delegasi menyiapkan suatu komisi untuk melakukan kunjungan langsung ke lapangan, dan kemudian membuat laporan untuk bahan pembahasan konferensi pada akhir tahun.

Deadlock yang terjadi sebenarnya disebabkan karena kurang jelasnya maksud dari pasal kedua Piagam Pemindahan Kedaulatan. Kekurangjelasan tersebut rupanya telah memicu kedua pihak berupaya untuk sesegera mungkin sampai kepada sebuah agreement.

Pokok persoalan perundingan dalam hal pemindahan kedaulatan ini, bagi Belanda adalah apakah kedaulatan tersebut juga termasuk West New Guinea. Pihak Indonesia menuntut bahwa pokok pembahasan perundingan adalah bagaimana Irian Barat secara administratif harus dipindahkan kedaulatannya kepada Indonesia seuai dengan pasal pertama Piagam Pemindahan Kedaulatan.

Walaupun ketidakjelasan dari pasal kedua Piagam Pemindahan Kedaulatan tersebut telah menyebabkan masing-masing pihak memiliki interpretasi yang berbeda, namun tetap diharapkan adanya jalan dan titik temu. Bagi sebagian besar pengamat waktu itu, persoalan pokoknya adalah pada pertanyaan tentang sejarah dan legalitas Irian Barat sebagai bagian dari Netherlands East Indies, karena hal ini akan menjadi pertimbangan yang kuat.

Secara luas dipercaya, bahwa pada suatu waktu Belanda membutuhkan tempat sebagai wilayah teritorial yang ekslusif bagi Belanda-Indonesia, namun tetap dengan memberlakukan peraturan kolonial Belanda. Hal ini di pahami oleh seluruh pengamat sebagai sebuah kerugian bagi Indonesia, dan bisa jadi juga mengejutkan bagi bangsa Belanda, karena secara politis sangat sulit bagi Pemerintah Belanda untuk bisa dengan segera mendirikan wilayah kolonial dengan tanpa perjuangan.

Pertemuan selanjutnya akan dilakukan segera sebelum tanggal 27 Desember 1950 sebagai upaya untuk melanjutkan kembali perundingan yang mengalami deadlock. Pihak Indonesia menyampaikan catatan usulan yang menyatakan bahwa perselisihan ini dapat diselesaikan apabila Belanda mengakui secara ‘de jure’ kedaulatan Republik Indonesia atas Irian Barat, dan pemindahan kedaulatan secara administratif dari Netherlands ke Indonesia bisa diimplementasikan melalui suatu perencanaan bersama pada pertengahan tahun 1951.

Indonesia juga menawarkan jaminan keadilan dan kepentingan kepada Belanda di Irian Barat dalam bentuk otonomi daerah sebagai sebuah rangsangan agar dihasilkannya sebuah agreement dengan Belanda. Sementara Belanda mengajukan proposal tandingan berupa penawaran pemindahan kedaulatan kepada Netherlands-Indonesia Union dimana otoritas administratif tetap dipegang oleh Netherlands dan Indonesia masuk kedalam Dewan Irian Barat dengan komposisi yang seimbang.

Bagi Indonesia, ini adalah sebuah perkembangan yang radikal dari komitmen Belanda sebelumnya dan merupakan sebuah upaya untuk melestarikan dominasi kolonial, karena itu Indonesia tidak dapat menerima proposal tersebut. Namun Belanda tetap pada pendiriannya, sehingga membuat perundingan kembali mengalami deadlock.