Repost dari http://westpapuainfo.wordpress.com/2009/07/01/west-papua-intervensi-pihak-asing/
Masih hangat dalam ingatan berita di The Jakarta Post yang saya baca membuat ‘panas’ Pemerintah Indonesia khususnya Deplu RI mengenai adanya rencana Kongres Amerika Serikat (AS) yang memasukkan masalah Papua dalam RUU Foreign Relations Autorization Act Fiscal Year 2010 and 2011 (H.R. 2410). Namun demikian, upaya diplomasi yang dilakukan pihak Deplu Indonesia dapat dikatakan berhasil dengan tidak dimasukkannya masalah Papua tersebut dalam Foreign Relations Autorization Act Fiscal Year 2010 and 2011 (H.R. 2410) yang telah disahkan pada 10 Juni 2009 oleh Kongres AS.
Foreign Relations Autorization Act Fiscal Year 2010 and 2011 (H.R. 2410) yaitu undang-undang/legislasi yang dikeluarkan komite-komite selain Komite Appropriasi Senat dan House, yang mengatur berlakunya suatu program federal atau institusi. Authorization Act merupakan payung bagi pendanaan berbagai program tahunan yang diatur dalam Appropriation Act.
Pada awalnya, dalam rancangan H.R.2410 sebelum disahkan memuat referensi khusus mengenai West Papua berupa status poltik dan kondisi HAM di Papua. Referensi tersebut digagas Ketua Komite Luar Negeri House, Howard Berman Ketika disahkan, HR. 2410 tidak lagi memuat referensi mengenai masalah Papua dikarenakan di-pending dengan pertimbangan tidak ingin mengganggu pelaksanaan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2009 di Indonesia.
Kemungkinan yang terjadi apabila masalah Papua tersebut masuk dalam H.R.2410, maka akan menjadi agenda pembahasan Kongres AS dan berlanjut pada permintaan kepada Menlu AS untuk menyerahkan suatu laporan kepada komite-komite Kongres terkait mengenai Act of Free Choice 1969, status politik West Papua dan sejauh mana Pemerintah Indonesia telah menerapkan Otsus dengan mengikutsertakan para pemimpin dan orang-orang Papua dalam pembangunan. Lebih lanjut, meminta Presiden AS menyampaikan laporan kepada komite-komite terkait di Kongres yang memuat gambaran sejauh mana Pemerintah Indonesia telah menghentikan pelanggaran HAM di West Papua.
Menarik menapak tilas ‘sepak terjang’ Kongres AS yang tidak kenal lelah berusaha meng-intervensi urusan dalam negeri Indonesia, khususnya masalah Papua. Setidaknya 3 kali Kongres AS mengajukan usulan masalah Papua untuk dibahas dalam Kongres AS yang akhirnya tidak berhasil yakni pada 2004, 2006 dan 2009.
Kongres AS sejak 1999 rupanya telah concern terhadap masalah Papua dimana 5 Anggota DPR AS (anggota Republik Christopher Smith dari New Jersey, anggota Republik John Porter dari Illinois, anggota Demokrat Howard Berman dari California, anggota Demokrat Cynthia McKinney dari Georgia, dan anggota Demokrat Eni Faleomavaega dari Samoa Amerika) menandatangani surat ditujukan kepada Presiden BJ. Habibie untuk mendesak pemerintah Indonesia mengadakan proses dialog yang sungguh-sungguh sebagai sarana pemecahan yang paling konstruktif terhadap berbagai masalah HAM di Papua.
Sementara, menurut kabar teman di Washington bahwa anggota Kongres AS Eni Faleomavaega asal Samoa Amerika yang juga concern terhadap masalah Papua dan beberapa kali berupaya mengangkatnya dalam Kongres namun pada akhirnya gagal, tidak mendapat simpati di kalangan Kongres karena dinilai tidak konsisten terhadap suatu permasalahan di kawasan Asia Pasifik. Hal ini bahkan mendapat reaksi negatif dari warga Samoa Amerika yang menilainya tidak banyak membawa perubahan di wilayah asalnya Samoa karena lebih memikirkan masalah lain dan mendesaknya segera mengundurkan diri dari Kongres AS. Anggota Kongres yang representatif semestinya dapat mengerti dan memahami serta memberikan hasil nyata bagi warga asal daerah yang bersangkutan, namun berbeda dengan Eni tidak representatif terhadap daerah asalnya dan tidak memperhatikan aspirasi warganya, tapi mencampuri permasalahan intern rumah tangga lain agar mendapat gelar “sang juru selamat”.
Demikian juga apa yang disampaikan oleh segelintir anggota Kongres AS dengan rencana membawa masalah Papua dalam Kongres AS dinilai mempunyai maksud-maksud tertentu yang mendeskreditkan Indonesia terhadap masalah Papua. Sehingga tidak mungkin Amerika yang juga mempunyai kepentingan di Indonesia akan mendukungnya. Sebagai bangsa besar, AS pasti akan menghormati kedaulatan negara lain dan urusan dalam negeri masing-masing negara dengan tidak turut campur terlibat persoalan negara lain (kecuali mereka berkepentingan). Yang terpenting bagi kita semua saat ini adalah memberdayakan bangsa sendiri dengan upaya dan jerih payah sendiri, dan tidak mengemis, meminta pertolongan bangsa lain. Bukankah memberi lebih baik daripada menerima ?