Senin, 08 Maret 2010

Pendiri OPM Kembali ke Bumi Cendrawasih

Jumat, 05 Maret 2010 00:00 WIB

NICHOLAS Jouwe tiba di Papua, kemarin. Pendiri Organisasi Papua Merdeka itu berencana menetap kembali di tanah kelahirannya setelah sejak 1969 bermukim di Belanda.

"Papua Merdeka itu hanya mimpi. Papua tidak akan merdeka," ujarnya beberapa saat setelah pesawatnya mendarat di Jayapura.

Jouwe mengaku sudah memperjuangkan kemerdekaan bangsa Papua Barat di PBB. Namun, ia mendapat jawaban bahwa orang Papua sudah merdeka di dalam bingkai NKRI.

Kini, Jouwe mengaku sudah kembali menjadi orang Indonesia. Karena itu, ia pulang ke Papua. Baginya, ini adalah kebanggaan tersendiri. Ia bisa berkumpul bersama sanak saudara di kampung halaman. Jouwe menilai Papua telah mengalami perkembangan sangat pesat. (FO/N-3)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/05/127326/76/20/Pendiri-OPM-Kembali-ke-Bumi-Cendrawasih

Tokoh OPM Pulang Kampung Tanpa Sambutan

Laporan wartawan KOMPAS Ichwan Susanto
Kamis, 4 Maret 2010 | 08:23 WIB

JAYAPURA, KOMPAS.com - Nicholas Jouwe, mantan anggota sekaligus pendiri Organisasi Papua Merdeka, Kamis (4/3/2010), kembali menginjakkan kaki di tanah Papua. Menurut rencana, pria yang pernah memperjuangkan kemerdekaan Papua di negeri Belanda ini ingin menghabiskan akhir hayat di bumi Cenderawasih.

Nicholas sempat tinggal beberapa lama di Jakarta. Kepulangannya ke Indonesia dimediasi (mantan) Menkokesra Aburizal Bakrie. Namun, kehadirannya ke tanah Papua, Kamis pagi ini, tak lagi disambut kemeriahan para penari maupun pejabat daerah. Ia turun dari pesawat Garuda Indonesia bernomor penerbangan GA 652 dari Cengkareng-Sentani via Timika.

Nicholas tak lagi mendapat kehormatan disambut di ruang VIP Bandara Sentani. Ia melalui ruang kedatangan umum, layaknya penumpang biasa. Kini ia telah menuju mobil berpelat DD 1012 AU dari Sentani menuju Hotel Swissbel di Kota Jayapura.

Kamis, 04 Maret 2010

Kaji Ulang Kontrak Karya Freeport

Kamis, 04 Maret 2010 10:43 WIB
Penulis : Anindityo Wicaksono
JAKARTA--MI: Pemerintah didorong untuk mengkaji ulang dan mengoreksi kontrak karya (KK) pertambangan PT Freeport Indonesia di tambang Grasberg, Papua. Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) baru untuk menekan kerugian dalam KK Freeport dengan menjadikan BUMN dan BUMD menjadi pemegang saham mayoritas.

Demikian dikemukakan pengamat pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam seminar mengenai tambang mineral Freeport di Gedung DPD RI, Jakarta, Kamis (4/3). Menurut dia, pemerintah harus menguasai sebagian saham Freeport agar dapat ikut mengelola jalannya perusahaan, mengamankan penerimaan negara lewat pajak, mengawasi seluruh produksi, serta meningkatkan pendapatan melalui dividen.

Pasalnya, berdasarkan laporan keuangan Freeport per Juni 2008, nilai aset perseroan di Indonesia sebesar US$4,42 miliar. Adapun total pendapatan sebesar US$3,703 miliar dengan laba kotor US$1,415 miliar.

Pemerintah Indonesia, melalui pajak dan royalti, hanya mendapat total penerimaan sebesar US$725 juta. "Pendapatan pemerintah dari tambang emas terbesar di dunia itu hanya setengahnya dari keuntungan Freeport," ujarnya.

Dia mengatakan, melalui kontrak karya (KK) generasi V yang ditandatangani di Desember 1991, Freeport sebenarnya sudah diwajibkan mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia. Freeport harus mengalihkan 10% selambat-lambatnya lima tahun. Artinya, harus ada divestasi saham minimal sebesar 2% setiap tahun.

Namun demikian, ujarnya, pada 1994, Freeport berhasil meminta pemerintah memperingan ketentuan divestasi dalam KK V khusus bagi Freeport yang ingin berinvestasi besar-besaran di tambang Grasberg. Pemerintah pun mengeluarkan PP 20/1994 yang mengizinkan investasi asing secara penuh atau mencapai 100%. "Melalui PP itu, kesempatan pemerintah untuk ikut memiliki saham mayoritas di Freeport menjadi hilang," ujarnya. (*/OL-04)

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/04/127139/23/2/Kaji-Ulang-Kontrak-Karya-Freeport-

DPR minta pemerintah renegosiasi KK Freeport

Kamis, 04/03/2010 18:47:16 WIBOleh: Nurbaiti

JAKARTA (Bisnis.com): Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak pemerintah merenegosiasi kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) serta menambah komposisi kepemilikan saham Pemerintah Indonesia di perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Chandra Tirta Wijaya menegaskan keistimewaan KK Genarasi I yang dimiliki oleh PTFI dinilai sangat merugikan negara dan tidak berpihak kepada nasional. “Sudah saatnya pemerintah mengkaji kembali izin penambangan yang diberikan kepada Freeport. Jangan sampai negara terus dirugikan karena ini karena manfaat yang diberikan tidak optimal,” ujarnya, hari ini.

Dia menegaskan keberadaan PTFI selama ini tidak memberikan kontribusi nyata kepada negara, terutama masyarakat Papua. Apalagi, lanjut dia, posisi tawar pemerintah juga sangat lemah dalam ketentuan kontrak perusahaan tersebut.

“Mereka [PTFI] tidak memiliki kewajiban divestasi sehingga komposisi saham Pemerintah Indonesia tidak pernah bertambah. KK Freeport itu harus segera direvisi, bila pemerintah memang berpihak kepada nasional,” tutur Chandra.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengungkapkan KK Generasi I yang dimiliki oleh PTFI terlalu longgar karena hampir sebagian besar materi kontrak merupakan usulan yang diajukan oleh perusahaan tersebut selama proses negosiasi. “Isi kontrak itu lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proporsional dari perusahaan itu. KK Freeport harus direvisi dan komposisi saham nasional juga harus ditambah,” ujarnya.

Perusahaan asal AS tersebut, dia menambahkan, baik pada saat masih menjadi perusahaan tertutup (1976-1988) maupun setelah terbuka pada 1988 selama ini selalu mendapatkan keuntungan melimpah di Timika, Papua. Hanya saja, tegasnya, kalau memang pemerintah ingin meningkatkan komposisi kepemilikan saham di PTFI, pemerintah harus mencabut PP No. 20 Tahun 1994 yang mengizinkan investasi asing secara penuh 100%.

Lebih lanjut, dia menjelaskan ketentuan divestasi saham kepada pemerintah secara umum berlaku untuk semua perusahaan yang menandatangani KK Generasi V. Menurut dia, dengan adanya PP No.20/1994 tersebut menghilangkan kesempatan pemerintah untuk ikut memiliki saham mayoritas di PTFI.

Marwan memaparkan dari hasil penambang PTFI di Papua, hanya 29% produksi kosentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri, sedangkan sisanya sekitar 71% dikirim ke luar negeri di luar pengawasan langsung Indonesia.

Kendati UU Minerba No 4 tahun 2009 mewajibkan proses pemurnian kosentrat harus diolah di dalam negeri sehingga bisa memberikan multiply effect bagi perekonomian dalam negeri, PTFI tetap memiliki keistimewaan dengan kepemilikan KK Generasi I.

Dari sisi penerimaan negara, dia melanjutkan, PTFI memberikan kontribusi kepada negara dari pajak dan royalti sebesar US$4,411miliar pada 2004-2008. Di sisi lain, total pendapatan perusahaan itu dalam rentang waktu yang sama mencapai US$17,893miliar.

“Jika seluruh pengeluaran diasumsikan 50% dari pendapatan, maka total penerimaan bersih seharusnya US$8,946miliar. Perbedaan penerimaan yang merugikan Indonesia ini harus segera dirubah dengan cara merenegosiasi KK dan menambah porsi kepemilikan saham pemerintah di PTFI,” tutur Marwan.

Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Pertambangan dan Industri Strategis Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sahala Lumban Gaol mengungkapkan pemerintah akan mengkaji kembali opsi penambahan kepemilikan saham di PTFI.

“Sekarang itu nilai saham Freeport sudah sedemikian tingginya, jadi rencana penambahan komposisi saham harus direview dan melalui kajian. Tentunya kami akan melihat dengan cermat benefitnya. Kalau pemerintah tidak punya channel di sana, nanti akan kita usulkan BUMN tambang,” tuturnya.

Hanya saja, dia menambahkan pemerintah kalaupun tidak ada penambahan komposisi saham, pemerintah mengharapkan PTFI melakukan kegiatan pembangunan lainnya. "Penambahan sedikit bisa tinggi nilainya. Tetapi, dalam kondisi seperti ini muncul yang skala prioritas, apakah dana yang ada untuk menambah saham atau kegiatan lain bagi pembangunan. Lihat cost dan benefit-nya," ujar dia.

Kendati nantinya tidak membeli saham PTFI, menurut dia, pemerintah kemungkinan akan menugaskan perusahaan pertambangan milik BUMN untuk membeli saham Freeport guna menambah porsi kepemilikan Indonesia.(msb)
 
Sumber : http://web.bisnis.com/sektor-riil/tambang-energi/1id165784.html

Selasa, 02 Maret 2010

Banyak Potensi Tambang di Papua Belum Dieksploitasi

Selasa, 2 Maret 2010 07:15 WIB

Timika (ANTARA News) - Staf Ahli Gubernur Papua, Dr Agus Sumule mengungkapkan ada banyak potensi pertambangan di Papua yang hingga kini belum dieksploitasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat setempat.

Berbicara kepada ANTARA di Timika, Selasa, Agus mengatakan potensi tambang itu meliputi minyak dan gas bumi, emas, tembaga, batubara, nikel, pasir besi dan lainnya.

Ia mengatakan, potensi minyak dan gas bumi selain terdapat di Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat yang kini dikelola British Proteleum (BP), juga terdapat di Merauke.

"Merauke menyimpan sekitar 14,4 kubik feet potensi migas dengan mutu dan jumlah terbanyak di dunia," kata Agus.

Sementara potensi emas dan tembaga terdapat di sebagian besar wilayah Papua. Potensi emas dan tembaga tersebut baru sebagian yang dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia di wilayah Grasberg Tembagapura, Mimika.

Adapun potensi batubara terdapat di Memberamo, Teluk Bintuni, selatan Mimika hingga Merauke dan sampai saat ini belum dieksploitasi.

"Potensi batubara sangat besar di Papua. Jika ini bisa dikelola secara baik maka merupakan salah satu sumber energi termurah," katanya.

Agus mengatakan saat ini terdapat dua perusahaan tambang sedang merintis investasi di Papua yaitu PT Aneka Tambang (Antam) dan perusahaan Valli dari Brazil.

Kedua perusahaan itu berencana berinvestasi di bidang pertambangan emas di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Papua New Guinea (PNG).

Agus mengatakan, di wilayah perbatasan tersebut sebelumnya terdapat perusahaan tambang emas Oktedi yang beroperasi di PNG, namun sudah ditutup.

Penutupan perusahaan tambang emas Oktedi menimbulkan masalah lingkungan lantaran perusahaan itu mengalirkan tailing melalui sungai ke wilayah Indonesia.

"Hal ini tentu saja menimbulkan masalah karena perusahaan itu sudah ditutup dan siapa yang bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan yang terjadi di wilayah Indonesia," tanya Agus.


Potensi kayu merbau

Selain potensi pertambangan, Agus mengatakan Papua menyimpan kekayaan hutan berupa kayu merbau alias kayu besi dengan kualitas terbaik.

Sesuai data Dinas Kehutanan Provinsi Papua, katanya, sekitar enam juta hektar hutan di Papua kaya dengan kayu merbau dimana setiap hektar menyimpan potensi kayu merbau sekitar 13,65 meter kubik.

Sementara potensi hutan sagu di Papua mencapai 2,2 juta hektar.

"Dahulu orang Papua memanfaatkan sagu hanya sekedar untuk kebutuhan pangan, tapi sekarang kita mulai melihat potensi bio etanol untuk sumber energi alternatif," jelas Agus.

Ia mengatakan setiap batang sagu menghasilkan sekitar 100 kg tepung yang jika diolah akan menghasilkan 25 liter etanol. (E015/K004)

Sumber : http://www.antara.co.id/berita/1267488928/banyak-potensi-tambang-di-papua-belum-dieksploitasi

KUR berpotensi digelar di Papua

Senin, 01/03/2010 18:41:04 WIB 
Oleh: Mulia Ginting Munthe JAKARTA (Bisnis.com): 
 
Program kredit usaha rakyat (KUR) sangat berpotensi dikembangkan di Provinsi Papua setelah perubahan beberapa regulasi yang ditetapkan pemerintah melalui Komite Kebijakan KUR di bawah kebijakan Kementerian Koordinator Perekonomian.

Pada tahun ini, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Papua masuk dalam daftar perbankan yang ikut menyalurkan KUR. Keikut-sertaan BPD Papua bersamaan dengan keterlibatan 12 BPD lain di bawah naungan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda).

Direktur Utama Bank Papua, Eddy R.Sinulingga, menjelaskan pertumbuhan program kredit perbankan di daerahnya masih sulit berkembang. Akan tetapi, karena jumlah pelaku usaha mikro dan kecil terus bertumbuh, KUR sangat berpotensi dikembangkan.

“Setelah KUR masuk ke Papua melalui Bank Papua, kami bisa mengoptimalkan kinerja untuk mencari calon-calon debitor karena dana kredit sudah dijamin oleh perusahaan asuransi penjamin. Pada tahun ini kami akan menyalurkan sebanyak Rp35 miliar,” ujar Eddy Sinulingga.

Secara umum, terdapat 13 BPD anggota Asbanda dalam penyaluran KUR. Adapun total penyaluran pada tahun ini sebesar Rp3,5 triliun. Pemerintah menargetkan penyaluran dana KUR setiap tahun hingga periode 2014 sebesar Rp100 triliun, atau Rp20 triliun per tahun.

Selain menyalurkan KUR, Bank Papua juga memiliki dua program kredit, yakni pinjaman usaha mikro (PUM) dan kredit peduli Papua. Khusus kredit peduli Papua, sasarannya adalah pelaku usaha penduduk asli dengan bunga kredit 10%.

Eddy bahkan optimistis bisa menyalurkan KUR melampaui target Rp35 miliar. Optimisme ini didukung fakta bahwa nominal kredit yang lebih dominan di Papua di bawah Rp500 juta, atau sesuai dengan target debitor KUR, yakni usaha mikro di bawah Rp5 juta dan usaha kecil di bawah Rp500 juta.(msb)
 
Sumber : http://web.bisnis.com/sektor-riil/ritel-ukm/1id164831.html