Jumat, 27 November 2009 20:56 WIB
Penulis : Cornelius Eko Susanto
JAKARTA-MI: Sekitar 708 orang warga negara Indonesia (WNI) yang telah lama bermumkim di Papua Nugini diproses repatriasi (kembali ke tanah asal kewarganegaraannya) oleh pemerintah Indonesia. Mereka adalah sebagian dari ribuan orang asal Papua yang tinggal di Papua Nugini dan menuntut bantuan tindakan repatriasi.
"Menurut KBRI Papua Nugini, yang meminta repatriasi ada ribuan. Namun untuk sementara, kita putuskan 708 orang dulu yang kita bantu," ungkap staf ahli menteri bidang politik dan keamanan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Dody Budiatman, di Jakarta, Kamis (26/11).
Dari 708 orang yang meminta repatriasi tersebut, hanya 311 orang yang bisa dibantu kepulangannya pada tahun ini. Sisanya kata Dody, bakal dipulangkan tahun depan. Pemerintah telah menganggarkan dana sebesar Rp25 miliar dari APBN untuk proses pemulangan mereka.
Lebih jauh dijelaskan, untuk proses repatriasi 311 orang Papua itu, pemberangkatan dipusatkan di dua tempat di wilayah Papua Nugini, yaitu di Wewak dan Port Moresby. Mereka yang berkumpul di Mewak telah diangkut ke Jayapura pada 19 November 2009 lalu. Sedangkan dari Port Moresby diterbangkan ke Jayapura pada 22 November 2009. Mulai dari proses pendataan sampai pemulangan ke Jayapura menjadi tanggungjawab Deplu RI dibantu oleh pemerintah Papua Nugini.
Di Jayapura, para pengunsi itu bakal ditempatkan di sebuah Balai Latihan Kerja (BLK). Di samping dibekali dengan sejumlah ketrampilan, mereka juga kembali akan didoktrinasi tentang wawasan kebangsaan Indonesia. Setelah proses tersebut rampung, mereka akan dikembalikan ke daerah asal mereka masing-masing. Daerah-daerah tujuan itu adalah, Merauke, Keerom, Bouvendigul, Jayapura, Biak, Pegunungan Bintan, Puncak Jaya, Serui, Timika, dan Sorong.
Sebagai bekal hidup, pemerintah pusat memberi jatah Rp17 juta untuk setiap Kepala Keluarga (KK). Masalah penempatan ke daerah asal dari Jayapura akan menjadi urusan Departemen Dalam Negeri dan Pemkab/Pemkot.
Disinggung soal pemberian rumah, Dody menolak menjelaskan. Pasalnya, di Papua masalah ini sensitive lantaran dapat menimbulkan kecemburuan dengan warga setempat.
"Soal rumah, pemeritah pusat tidak menanggung. Kalau ada pemkab/pemkota yang bersedia memberikan, kita persilahkan. Namun, dihimbau, sebaiknya hal itu tidak perlu dipublikasikan," imbuhnya.
Kronologis terjadinya permintaan repatriasi itu berawal dari kebijakan penggusuran tanah di kantong-kantong warga Papua yang tinggal di Port Moresby. Pasalnya, sebagian besar dari mereka tinggal di daerah kumuh dan sejatinya terlarang sebagai pemumkiman. Lantaran tidak lagi punya tempat tinggal dan uang, mereka memohon pada KBRI Papua Nugini untuk membantu mereka kembali pulang ke Indonesia.
"Jumlahnya menurut Deplu bisa mencapai 25 ribu orang," terang Dody.
Mereka yang ingin kembali tidak hanya berasal dari Port Moresby, tetapi juga warga Papua yang tinggal di kota lain seperti, Lihir, Manus, lae, Bulolo, Madang, Daru, Goroka, Kiunga, Wewak dan Vanimo.
Mereka berasal dari beragam latar belakang. Sebagian adalah orang yang tidak setuju masuknya Papua ke Indonesia dan sebagian lainnya anggota OPM. Namun beberapa dari mereka adalah keturunan ke dua. (Tlc/OL-7)