Minggu, 22 November 2009

Ke Papua Mereka Kembali

Fri 20 Nov 2009
by : Budi Winarno

JIKA selama ini kita lebih banyak diberi informasi tentang warga Papua yang meminta suaka ke luar negeri, kini ada berita sebaliknya yang tersiar dari Tanah Papua. Ratusan orang warga Papua yang selama berpuluh-puluh tahun tinggal di Papua Nugini, akan kembali ke Tanah Air di Papua dan Papua Barat. Mereka kembali ke Tanah Air melalui proses repatriasi.

Mereka akan disinggahkan di Jayapura, kemudian dikembalikan ke kampung leluhur mereka di Kabupaten Jayapura, Biak, Sorong, Jayawijaya, Puncak Jaya, Merauke, Tolikara, Keerom, Boven Digoel dan Kabupaten Mimika. Pemulangan ke daerah-daerah, disesusaikan dengan anggaran masing-masing kabupaten.

Kepulangan mereka kembali ke tanah leluhur, berlangsung mengharukan. Ada sejumlah latar belakang mengapa mereka pulang. Pertama, karena telah gagal secara ekonomi dan sosial hidup di Papua Nugini. Di Papua Nugini, mereka ternyata hidup miskin dan tercerai berai, terpisah oleh jarak yang jauh dan sulit diakses.

Di Papua Nugini, mereka kebanyakan hidup menjadi petani. Tentu saja dengan keahlian bertani seadanya. Dengan gambaran seperti itu, maka sudah dapat dipastikan bahwa mereka tidak menjadi lebih baik ketika "menyeberang " ke negeri tetangga. Sudahlah merugi secara ekonomi, hilang pula kekerabatan sosial yang selama ini mereka bina di Papua (dulu Irian Jaya).

Gambaran kegagalan mereka hidup di Papua Nugini terlihat dari apa yang mereka bawa ketika pulang atau direpatriasi. Selain membawa tas dan koper, banyak juga warga repatrian yang menenteng ember plastik, kompor minyak tanah, dan teko air. Tentu saja barang itu bukanlah "oleh-oleh" yang bagus untuk dibawa ke kampung halaman.

Alasan ekonomi dan sosial bisa kita terima karena Papua Nugini bukanlah negara kaya. Pendapatan perkapita pada tahun 2008, misalnya, hanya 2.300 US dolar sementara Indonesia 3.900 US dolar. Lebih dari itu, alam Papua Nugini juga sama saja "kerasnya" dengan Papua dalam arti sarana transportasi juga belum memadai. Maka menjadi mudah kita terima jika pada akhirnya mereka ingin kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Alasan kedua mereka pulang adalah karena suasana di Papua kini relatif aman. Mereka menyeberang ke Papua Nugini waktu itu memang berasalan utama karena di tanah leluhurnya mereka merasa tidak aman secara politik. Mereka (saat itu) mengaku memiliki ketidaksepahaman dengan pemerintah Indonesia sehingga mereka memilih bermukim di Papua Nugini.

Bisa jadi, "aman" bagi para repatrian adalah karena di Indonesia kini telah berkembang suasana demokrasi yang hebat sehingga perbedaan yang selama ini "diharamkan" kini dianggap biasa. Waktu mereka lari ke Papua Nugini tahun 1970-an, misalnya, Papua (waktu itu Irian Barat) adalah provinsi yang belum lama bergabung ke Indonesia sehingga wajar saja bila banyak warga merasa tidak aman. Waktu itu, di Irian Barat masih sangat banyak tentara yang diterjunkan. Waktu itu juga masih banyak tokoh yang tidak mau bergabung ke Indonesia.

Kita melihat proses repatriasi lebih sebagai kegiatan sosial, bukan politik. Cara melihat seperti itu diperlukan agar Indonesia sebagai tuan rumah yang menerima kembali anaknya yang hilang, tidak memperlakukan mereka sebagai pelarian politik lagi. Mereka adalah anak kandung yang telah gagal dalam pelariannya ke negara lain. Dan ketika mereka pulang karena merasa gagal hidup di negeri orang, maka menjadi wajib secara sosial untuk menerima mereka kembali.

Bahwa di Papua sendiri masalah keamanan belumlah tuntas benar, itu adalah persoalan politik dan kemanan yang memang menjadi pekerjaan rumah kita. Kedatangan anak-anak negeri itu, cukuplah didata dengan baik dan "di-Indonesiakan" lagi terutama melalui sekolah-sekolah.

Menurut catatan Kedutaan Besar RI di Port Moresby, masih banyak warga Indonesia yang akan pulang kembali ke Papua. Jumlah pasti memang belum terdata karena mereka tersebar di Papua Nugini. Namun, dari mereka yang menyatakan ingin kembali ke Papua, jumlahnya mencapai ribuan.

Karena jumlahnya banyak, maka dipastikan proses repatriasi akan melalui waktu yang lama. Jika langkah awal penanganan repatriasi ini tepat, maka langkah berikutnya menjadi lebih mudah. Kepada Saudara-Saudara kita warga Papua yang baru datang dari Papua Nugini, kita hanya bisa mengucapkan selamat datang ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar