Kamis, 04 Maret 2010 10:43 WIB
Penulis : Anindityo Wicaksono
JAKARTA--MI: Pemerintah didorong untuk mengkaji ulang dan mengoreksi kontrak karya (KK) pertambangan PT Freeport Indonesia di tambang Grasberg, Papua. Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) baru untuk menekan kerugian dalam KK Freeport dengan menjadikan BUMN dan BUMD menjadi pemegang saham mayoritas.
Demikian dikemukakan pengamat pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam seminar mengenai tambang mineral Freeport di Gedung DPD RI, Jakarta, Kamis (4/3). Menurut dia, pemerintah harus menguasai sebagian saham Freeport agar dapat ikut mengelola jalannya perusahaan, mengamankan penerimaan negara lewat pajak, mengawasi seluruh produksi, serta meningkatkan pendapatan melalui dividen.
Pasalnya, berdasarkan laporan keuangan Freeport per Juni 2008, nilai aset perseroan di Indonesia sebesar US$4,42 miliar. Adapun total pendapatan sebesar US$3,703 miliar dengan laba kotor US$1,415 miliar.
Pemerintah Indonesia, melalui pajak dan royalti, hanya mendapat total penerimaan sebesar US$725 juta. "Pendapatan pemerintah dari tambang emas terbesar di dunia itu hanya setengahnya dari keuntungan Freeport," ujarnya.
Dia mengatakan, melalui kontrak karya (KK) generasi V yang ditandatangani di Desember 1991, Freeport sebenarnya sudah diwajibkan mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia. Freeport harus mengalihkan 10% selambat-lambatnya lima tahun. Artinya, harus ada divestasi saham minimal sebesar 2% setiap tahun.
Namun demikian, ujarnya, pada 1994, Freeport berhasil meminta pemerintah memperingan ketentuan divestasi dalam KK V khusus bagi Freeport yang ingin berinvestasi besar-besaran di tambang Grasberg. Pemerintah pun mengeluarkan PP 20/1994 yang mengizinkan investasi asing secara penuh atau mencapai 100%. "Melalui PP itu, kesempatan pemerintah untuk ikut memiliki saham mayoritas di Freeport menjadi hilang," ujarnya. (*/OL-04)
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/04/127139/23/2/Kaji-Ulang-Kontrak-Karya-Freeport-
Demikian dikemukakan pengamat pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam seminar mengenai tambang mineral Freeport di Gedung DPD RI, Jakarta, Kamis (4/3). Menurut dia, pemerintah harus menguasai sebagian saham Freeport agar dapat ikut mengelola jalannya perusahaan, mengamankan penerimaan negara lewat pajak, mengawasi seluruh produksi, serta meningkatkan pendapatan melalui dividen.
Pasalnya, berdasarkan laporan keuangan Freeport per Juni 2008, nilai aset perseroan di Indonesia sebesar US$4,42 miliar. Adapun total pendapatan sebesar US$3,703 miliar dengan laba kotor US$1,415 miliar.
Pemerintah Indonesia, melalui pajak dan royalti, hanya mendapat total penerimaan sebesar US$725 juta. "Pendapatan pemerintah dari tambang emas terbesar di dunia itu hanya setengahnya dari keuntungan Freeport," ujarnya.
Dia mengatakan, melalui kontrak karya (KK) generasi V yang ditandatangani di Desember 1991, Freeport sebenarnya sudah diwajibkan mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia. Freeport harus mengalihkan 10% selambat-lambatnya lima tahun. Artinya, harus ada divestasi saham minimal sebesar 2% setiap tahun.
Namun demikian, ujarnya, pada 1994, Freeport berhasil meminta pemerintah memperingan ketentuan divestasi dalam KK V khusus bagi Freeport yang ingin berinvestasi besar-besaran di tambang Grasberg. Pemerintah pun mengeluarkan PP 20/1994 yang mengizinkan investasi asing secara penuh atau mencapai 100%. "Melalui PP itu, kesempatan pemerintah untuk ikut memiliki saham mayoritas di Freeport menjadi hilang," ujarnya. (*/OL-04)
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/04/127139/23/2/Kaji-Ulang-Kontrak-Karya-Freeport-
bangsa yang bodoh
BalasHapus