Bagi bangsa Indonesia, bagaimanapun tidak mungkin untuk kembali ke masa sebelum proklamasi kemerdekaan, yaitu masa dimana seluruh kepulauan Nusantara sebagai Netherlands East Indies. Dua hari setelah naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, sebagai founding father Republik Indonesia, Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mengumumkan formasi Republik Indonesia yang terdiri atas 8 propinsi, yaitu: Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Dataran Sunda, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan. Papua adalah bagian dari propinsi Maluku, sebagaimana halnya pada masa penjajahan Belanda.
Empat hari kemudian, Presiden Soekarno menyampaikan pidato nasionalnya di radio dengan kata pembukaan “Rakyatku di Sumatera, di Jawa, di Borneo, Sulawesi, Dataran Sunda, Maluku-dari Aceh sampai Merauke”. Merauke adalah sebuah kota yang terletak di bagian paling timur di Indonesia dan merupakan pintu gerbang ke Papua bagian selatan.
Selama masa perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan Belanda, slogan “Dari Sabang sampai Merauke” menjadi sangat populer dan menjadi referensi mengenai wilayah Republik Indonesia itu sendiri. Sabang adalah sebuah kota yang terletak paling barat di Aceh, dan bagian paling barat dari Sumatera, sedangkan Merauke merupakan wilayah di Papua. Jadi sejak awal pembentukan negara Republik Indonesia, Papua telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Pada saat Republik Indonesia baru saja diproklamirkan, Belanda mencoba memaksa untuk kembali ke Indonesia dan melakukan penindasan. Hal ini tentu saja mengobarkan rasa kebencian dan dendam bagi rakyat Indonesia, yang dengan revolusioner memutuskan untuk berperang menentang Belanda. Kebulatan tekad dari sebuah republik yang masih muda untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Belanda kemudian mencoba untuk berunding dan melakukan berbagai upaya tipu daya untuk memperdayai republik. Pada bulan Juli 1946, Pemerintah Kolonial Belanda mensponsori pelaksanaan konferensi Malino di Makasar, Sulawesi selatan. Dalam konferensi tersebut, Gubernur Jenderal HJ van Mook mengajukan proposal pembentukan Negara Federasi Indonesia, dimana republik dipecah menjadi tiga. Dua yang lainnya adalah Negara Indonesia Timur (termasuk didalamnya Papua), dan Negara Kalimantan.
Proposal ini dianggap sebagai upaya ‘Malinosasi’, yaitu istilah baru untuk taktik lama Belanda didalam memecah belah dan menaklukkan Indonesia. Belanda menunjuk Franz Kaisiepo, seorang pemimpin pribumi, untuk mewakili Papua pada konferensi Malino tersebut. Tetapi Franz Kaisiepo, menolak gagasan Belanda untuk membentuk negara federasi, dan sebaliknya malah mengajukan gagasan untuk merubah nama Netherlands Niew Guinea menjadi ‘iryan’. Sebuah kata dalam bahasa pulau Biak yang berarti ‘cahaya matahari yang menembus kabut laut’. Kata ini biasa diucapkan oleh para nelayan Biak untuk mengungkapkan harapan mereka agar selamat di dalam mencapai Papua dan melewati horizon. Sumber lainnya mengartikan ‘iryan’ sebagai ‘pulau berkabut yang naik dari laut’.
Beberapa tahun kemudian Indonesia berupaya mengkampanyekan restorasi Papua Barat dari kontrol Belanda, dimana Indonesia kemudian membuat akronim Irian sebagai Ikut Republik Indonesia, Anti Nederlands.
Tidak senang dengan apa yang mereka sebut sebagai antusiasme Kaisiepo yang salah arah, pada pelaksanaan konferensi selanjutnya di Denpasar, Bali pada bulan Desember 1946, otoritas Belanda menunjuk orang lain yang berasal dari daerah yang sama dengan Kaisiepo. Para pemimpin masyarakat di Papua tentu saja menentang dengan keras keputusan tersebut, namun tidak ada gunanya.
Dalam konferensi tersebut, van Mook melakukan upaya-upaya lebih lanjut untuk mengeluarkan West New Guinea dari proposal Negara Indonesia Timur. Tetapi karena dianggap bisa memunculkan gerakan separatis yang menyeluruh dari sebuah entitas politik, maka gagasan van Mook tidak mendapat tanggapan dari para peserta konferensi.
Hal itu merupakan sebuah catatan penting selama periode ini, dimana Partai Kamerdekaan Indonesia Irian, sebagai organisasi politik yang besar dan aktif di West New Guinea menjadi figur yang signifikan di dalam melakukan perjuangan secara revolusioner. Dan secara kebetulan semua pihak memiliki perhatian yang sama dalam hal ini, dimana perjuangan baru terhenti ketika Belanda terpaksa harus melakukan perundingan dengan serius dibawah tekanan Dewan Keamanan PBB dan AS.
Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan di Netherlands pada tanggal 23 Agustus - 2 November 1949, yaitu antara perwakilan Kerajaan Belanda, Republik Indonesia, dan Pemerintahan Lokal Belanda di Indonesia. Konferensi ini pada akhirnya menghasilkan sebuah agreement yang menetapkan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar