Kemarahan Indonesia terhadap sikap Belanda yang mengulur-ulur waktu soal isu Irian Barat pada akhirnya meledak pada tahun 1957. Indonesia akhirnya menghentikan operasi perusahaan-perusahaan Belanda, sejalan dengan pergerakan umum para pekerja Indonesia yang merampas seluruh perusahaan pertanian, perkebunan, industrial dan perusahaan komersial yang berada di Indonesia.
Sementara itu, Menteri Kehakiman Indonesia memerintahkan sebanyak 50.000 orang Belanda yang berada di Indonesia untuk meninggalkan Indonesia sebelum akhir tahun. Pemerintah Indonesia mengambil alih kontrol atas kekayaan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, yang diperkirakan mencapai sekitar $ 2 milyar dan memutuskan seluruh jaringan yang memiliki kemungkinan berhubungan dengan Netherlands.
Pada bulan Agustus 1960, Indonesia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Netherlands, sehingga Belanda dan kalangan Negara-negara Barat mulai mencemaskan tentang ancaman pergerakan Indonesia yang akan merebut kembali Irian Barat melalui kekuatan militer, karena saat itu Indonesia telah meningkatkan kemampuan militernya dengan bantuan dari Uni Soviet.
Hal ini telah menempatkan Belanda kedalam suasana kekhawatiran yang tinggi, meskipun kemudian mereka mengirimkan sebuah pesawat pengangkut ke perairan Irian Barat untuk mempersiapkan perlindungan terhadap wilayah yang mereka anggap sebagai wilayah teritorial mereka. Namun tidak ada seorangpun dari mereka yang bersungguh-sungguh untuk bertempur dalam perang mempertahankan Irian Barat tersebut.
Pada akhir tahun yang sama, PM Malaya, Tunku Abdul Rahman, mencoba membawa Netherlands dan Indonesia untuk melakukan perundingan kembali. Tunku Abdul Rahman mengusulkan agar Irian Barat dapat dipindahkan ke PBB sebagai wilayah yang dipercayakan, dan kemudian secepatnya dipindahkan ke Indonesia.
Akan tetapi usulan Tunku Abdul Rahman mensyaratkan tidak adanya campur tangan dari kedua belah pihak. Belanda menyetujui usulan untuk menempatkan Irian Barat dibawah perwalian PBB, namun demikian Belanda tidak menyetujui apabila dengan serta merta secara otomatis kemudian diserahkan kepada Indonesia setelah beberapa waktu.
Sementara itu Indonesia hanya tertarik dengan pemindahan kedaulatan secara langsung tanpa melalui penengah atau perwalian. Pemindahan kedaulatan itu akan dilakukan setelah mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pemilihan secara bebas oleh masyarakat Irian. Ironisnya adalah setelah beberapa tahun kemudian, mereka mengambil rencana tersebut, tetapi memperluas usulan Tunku Abdul Rahman.
Belanda beralasan bahwa masyarakat Irian itu terpisah dan berbeda dari bangsa Indonesia lainnya, dan oleh karena itu mereka memerlukan hak untuk memutuskan nasib mereka sendiri melalui proses politik dari awal hingga akhir. Disini Belanda tidak menegaskan bahwa masyarakat Irian tidak menginginkan menjadi bagian dari Indonesia, tetapi hanya mengharapkan bahwa masyarakat Irian dapat memutuskan nasibnya sendiri.
Bagi Indonesia, masyarakat Papua telah siap membuat keputusannya sendiri, dan memilih untuk bergabung dengan Indonesia, karena dengan demikian mereka memiliki sandaran didalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan, apalagi secara legal Irian Barat memang merupakan bagian dari Indonesia. Adapun pertanyaan mengenai etnis Papua, bagi Indonesia itu dianggap tidak relevan, karena banyak populasi di beberapa propinsi di Indonesia bagian timur yang juga merupakan etnis Papua, seperti orang-orang di Irian Barat pada umumnya.
Melihat perbedaan pandangan pada point ini, kelihatannya akan terjadi deadlock untuk seterusnya, dan perselisihan hanya bisa diselesaikan melalui konflik bersenjata antara Netherlands dan Indonesia. Namun secara kebetulan, semua pihak yang terkait dan menaruh perhatian terhadap realitas geopolitik Irian Barat pada waktu ini, telah membuat perubahan, yaitu dengan membuka jendela kesempatan, dari deadlock menjadi sebuah resolusi melalui perundingan-perundingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar